20 Agustus 2014

Ibadah Lebih Kusenangi Daripada Jabatan

Ibadah Lebih Kusenangi Daripada Jabatan


Alkisah

Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah menarik dari Sahabat Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bercerita:

Ada seorang laki-laki dari orang-orang sebelum kalian yang hidup sebagai seorang raja. Pada suatu saat terbesit dalam benaknya bahwa semua aktivitas yang kini dia kerjakan akan menghabiskan seluruh waktunya ¹, dan hal itu akan menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah Ta'ala.

Kemudian pada suatu malam dia bertekad mencari jalan untuk keluar dari dalam istinanya ² (tanpa diketahui oleh siapa pun) sehingga pada waktu subuh dia telah berada di sebuah negeri yang dikuasai oleh raja yang lain. Sampailah dia ditepi (pesisir) sebuah pantai yang penduduknya memiliki kebiasaan bekerja sebagai pemerah susu dengan upah yang dapat memenuhi kebutuhannya. Maka dia pun bekerja dengan mengambil upah. Dia memakan sebagian hasil upahnya dan menyedekahkan sisanya. Dia senantiasa melakukan hal yang demikian hingga sampailah berita tentang keutamaan dan kuatnya ibadahnya kepada raja (penguasa) negeri tersebut.

Lalu sang raja mengutus seorang utusan kepadanya agar dia mau datang menemui raja tersebut. Namun, ia enggan untuk bertemu raja tersebut. Sang raja kembali mengutus utusan untuk memanggil dan terus memanggil agar ia datang kepadanya namun dia tetap menolak panggilan raja seraya berkata: "Tidak ada urusan antara aku dan dia." Hingga akhirnya sang raja pun datang sendiri dengan menaiki tunggangannya yang gagah. Begitu melihat kedatangan raja tersebut ia langsung berpaling dan beranjak pergi. Maka sang raja segera mennyusul dan mencari jejaknya namun tidak berhasil mengejarnya.

(Dalam keadaan demikian) sang raja itu memanggilnya: "Wahai hamba Allah, sesungguhnya aku tidak akan membahayakan kamu." Akhirnya, setelah dapat bertemu dengannya, sang raja bertanya: "Siapakah engkau? Semoga Allah merahmatimu." Dia menjawab:"Aku adalah fulan bin fulan, pemilik kerajaan ini dan itu. Aku telah memutuskan perkaraku karena aku berpikir bahwa apa yang aku kerjakan selama (menjadi raja)  itu menyita semua waktuku dan menyibukkan diriku dari beribadah kepada Rabbku. Karena itu, aku tinggalkan itu semua dan aku datang ke sini agar dapat beribadah kepada Allah."

Sang raja menyahut: "Engkau tidak lebih membutuhkan hal itu daripada aku."³ Setelah berkata demikian, dia turun dari kendaraannya dan melepaskan tunggangannya lalu ikut bersama laki-laki itu kemana pun perginya. Kemudian mereka selalu hidup bersama untuk beribadah kepada Allah Ta'ala dan berdo'a agar diwafatkan secara bersama. Akhirnya (Allah Ta'ala mengabulkan do'a mereka), mereka pun meninggal dunia.

(Usai menceritakan kisah di atas) Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata: "Seandainya aku berada di Rumailah Mesir sungguh aku akan perlihatkan kepada kalian kuburan keduanya dengan sifat yang telah di jelaskan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam kepada kami."

Kisah di atas driwayatkan oleh Imam Ahmad: 1/451, Abu Ya'la: 9/261, al-Bazzar dalam Musnadnya: 4/267, dan Dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Tahrij Ahadits Shohihah: 6/805

Ibroh

Kisah di atas adalah sepenggal perjalanan hidup seorang laki-laki sholih dari Bani Israil yang dipilih kaumnya untuk menjadi raja bagi mereka. Hanya, dia merasa khawatir apabila kesibukan dalam mengurus negerinya akan dapat melalaikan dirinya dari beribadah kepada Allah Ta'la.5 Maka dengan tekad yang bulat dia memutuskan untuk pergi meninggalkan negerinya menuju bumi Allah Ta'ala yang luas tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. Dia menjauh dari tugas-tugas kenegaraan agar terhindar dari kesombongan sebagai kepala negara dan dapat beribadah kepada Allah Ta'ala dengan leluasa.

Sesungguhnya tekad yang demikian bukanlah perkara yang mudah karena duduk di kursi kekuasaan apalagi sebagai seorang kepala negara, bersanding dengan para pejabat dan orang-orang yang berpangkat lainnya, menjadi pemegang segala putusan hukum, dikagumi dan dihormati manusia merupakan perkara yang sangat dicintai oleh jiwa. Oleh karena itu, sangatlah mustahil bagi seseorang semisal laki-laki tersebut untuk meninggalkan tahta dan kerajaannya kecuali apabila ketulusan hati dan panggilan hati nuraninya lebih besar daripada bisikan-bisika  kemegahan dan kekuasaan.

Sungguh hati laki-laki tersebut telah dipenuhi rasa takut kepada Allah Ta'ala dan dia sangat khawatir apabila dia terus bertelekan di atas singgasana kekuasaannya akan membuat murka Rabb-nya. Rasa takut ini menjadikannya merasa mudah untuk meninggalkan itu semua menuju keadaan yang lebih baik.

Sekarang, mari kita bandingkan dengan keadaan para pemburu kursi kekuasaan pada saat ini. Mereka justru rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk melicinkan jalan menuju kursi yang dia idamkan, memenuhi hawa nafsu yang tiada akhirnya tersebut!! Wallahul Musta'an. Tidakkah mereka mendengar sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.

منْ طلب القضاء واسْتعان عليْه وكل إليْه ومنْ لمْ يطْلبْه ولمْ يسْتعنْ عليْه أنْزل الله ملكا يسدّده

"Barang siapa yang minta dijadikan pemutus perkara (hakim)  dan meminta pertolongan atasnya maka akan diberikan atasnya, dan barang siapa yang tidak memintanya maka Allah akan mengutus malaikat untuk meneguhkannya."(GR. Abu Dawud: 9/469)

Mungkin ada yang bertanya, bukankah lebih utama bagi dua raja dalam kisah tadi untuk tetap memegang kekuasaannya dan menggunakannya untuk memperbaiki masyarakat, memberantas kemungkaran, serta menebarkan kebaikan di negerinya dan menegakkan syari'at Allah??

Jawabannya:
Hal ini berbeda untuk tiap-tiap individu. Sebagian manusia tidak dapat berlaku adil dalam menanggung amanah kepemimpinan. Dia mendapati pada dirinya ketimpangan dalam menjalankan urusannya, bahkan bisa jadi kepemimpinannya itu akan. Menggelincirkan jiwanya ke dalam lembah kenistaan dan perbuatan dosa kepada Allah Ta'ala, atau terkadang dia mampu memegang tampuk kepemimpinan tetapi ia akan di hadapkan dengan penghalang-penghalang yang berbahaya yang dia tidak akan mampu menembusnya. Adapun apabila dia mampu mengatur urusan rakyatnya, mampu tetap kokoh memberantas kemungkaran dan menyebarkan kebaikan, maka yang lebih utama baginya adalah tetap duduk di atas singgasana kekuasaannya. Di samping lebih utama, itu lebih banyak pahalanya daripada memutus diri dari urusan dunia demi beribadah kepada Allah Ta'ala. Balasan sepadan dengan amal perbuatan.

Adapun kedua raja dalam kisah tadi termasuk dalam golongan pertama. Mereka merasa dirinya tidak akan mampu memikul amanah kepemimpinan. Sebab itu, hidup jauh dari kesibukan duniawi lebih utama bagi mereka daripada tetap berada di atas kursi kepemimpinan namun di ambang jurang kehancuran. Wallahu a'lam.

Mutiara Kisah

Pada kisah di atas terdapat beberapa faedah yang bisa kita petik:

1. Diantara hamba-hamba Allah Ta'ala, ada sebagian manusia yang lebih mendahulukan ibadah dan menghambakan diri kepada Allah Ta'ala daripada kehormatan dan kekuasaan. Mereka adalah orang-orang pilihan yang berbeda dengan kebanyakan umumnya manusia, hingga hal itu menakjubkan manusia di mana pun mereka berada.
2. Pada kaum Bani Israil terdapat para Khulafa' (pemimpin negara) selain para anbiya' (para Nabi) yang mengurusi urusan mereka.
3. Pada zaman tersebut sudah dikenal beberapa keahlian berupa kerajinan tangan seperti dijumpainya benda-benda industri dan produk olahan seperti barang tambang dan susu.
4. Disyari'atkannya Mu'amalah berupa bekerja yang dibayar dengan upah tertentu, dimana mereka bekerja dengan memerah susu yang dengannya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti yang dilakukan oleh seorang raja yang lari dari negerinya tersebut. Wallahu a'lam.



Oleh:
Ustadz. Abu Faiz hafizhahullah


Catatan:

1. Dalam sebuah riwayat bahwa ia senantiasa shalat malam di atas Baitul Maqdis di tengah terangnya bulan.
2. Dalam riwayat lain dia keluar dengan menggunakan tambang yang terikat di masjid.
3. Artinya: "Aku pun merasakan hal yang sama sepertimu."(pen)
4. Rumailah adalah bentuk Tasghir (pengecilan) dari Romlah. Romlah adalah salah satu nama kota di palestina yang berada dekat  dengan Baitul Maqdis. Dikatakan bahwa yang disebut sebagai ar-Rumailah ada tiga tempat yaitu sebuah kota yang ada di palestina, sebuah tempat antara Bashrah dan Makkah, dan ada sebuah perkampungan yang ada di Bahrain. (Lihat Mu'jam al-Buldan: 3/73). Dr. Umar Sulaiman Abdulloh al-Asyqor berkata: mungkin juga yang di sebut ar-Rumailah disini adalah sebuah kota yang berpasir berada di dekat pantai di Mesir atau sebuah kota yang tidak penting dan tidak di kenal manusia sehingga disebut dengan sebutan itu (pengecilan-pen)." (Shohih Qoshos han Nabawi: 297)
5. Memang inilah kenyataan yang sering terjadi pada kebanyakan para pemegang amanat rakyat, mereka sering melalaikan tugasnya sendiri sebagai seorang hanba Allah Ta'ala yaitu untuk ibadah kepada Allah Ta'ala.


Sumber:
Majalah "al-Furqon_menebar dakwah salafiyah ahlussunnah wal jama'ah" - Edisis 10 tahun kedelapan | Jumadal Ula 1430 H

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Ibadah Lebih Kusenangi Daripada Jabatan

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter