بســــــــــــــــم الله الرحمن الرحيـــــــــــــــم
السلام عليكم ورحمة الله وبر كاته
- Bolehnya masuk masjid dalam keadaan darurot:
sebagaiman hadits dari riwayat imam muslim:
عن عا ئشة قا لت: قال لعي رسول الله صلى الله و عليه وسلم: نا ولينعى الجمرة من المسجد.فقلت: إنعي حا ئض. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:إنوحيضتك ليست فى يحك
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Ambilkan untukku khumroh (sajadah kecil) di masjid.” “Sesungguhnya aku sedang haid”, jawab ‘Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidmu itu bukan karena sebabmu” (HR. Muslim no. 298).
Hal ini menunjukkan bahwa boleh saja bagi wanita haid untuk memasuki masjid jika: (1) ada hajat dan (2) tidak sampai mengotori masjid. Demikian dua syarat yang mesti dipenuhi bagi wanita haid yang ingin masuk masjid.
Adapun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan,
لاأحل المسجد لحا ئض ولا جنب
“Tidak dihalalkan masjid bagi wanita haid dan orang yang junub.”( HR. Abu Daud no. 232. Hadits ini dikatakan dho’if oleh Syaikh Al Albani.)
Ini hadits yang tidak shahih. Para ulama hadits menyatakan demikian bahwa hadits tersebut tidaklah shahih. Sehingga hadits tersebut tidak bisa jadi pendukung untuk melarang wanita haid masuk masjid.
Adapun jika ada yang mengqiyaskan wanita haid dengan orang junub, ini jelas qiyas (analogi) yang tidak memiliki kesamaan. Karena junub boleh masuk masjid jika dia berwudhu untuk memperingan junubnya, ini yang pertama. Yang kedua, junub adalah hadats karena pilihannya yang sendiri dan ia mungkin saja menghilangkan hadats tersebut. Hal ini berbeda dengan wanita haid. Wanita yang mengalami haid bukanlah atas pilihannya sendiri. Jika wanita haid mandi sekali pun selama darahnya masih mengalir, itu tidak bisa menghentikan darah haidnya. Intinya, tidak bisa disamakan antara wanita haid dan orang yang junub sehingga qiyasnya nantinya adalah qiyas yang jelas berbeda (qiyas ma’al faariq).”
- Membaca Al Qur’an tanpa menyentuhnya.
Karea tidak ada satupun hadits shahih yang melarang nya.
Seperti hadits berikut:
“Artinya : Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’an.”
Dalam riwayat yang lain, “Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’an”
DHA’IF Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595 dan 596). Ad-Daruquthni (1/117) dan Baihaqiy (1/89), dari jalan Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar (ia berkata seperti di atas)
Berkata Imam Bukhari, “Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits (apabila dia meriwayatkan hadits) dari penduduk Hijaz dan penduduk Iraq”
Hadits yang lain dari jalan Ibnu Umar
“Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku Mughirah bin Abdurrahman, dari Musa bin Uqbah dan Naafi, dari Ibnu Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an”
DLA’IF. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/117)
Al-Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan riwayat di atas disebabkan Abdul Malik bin Maslamah seorang rawi yang dla’if (Talkhisul Habir 1/138)
- Berdzikir.
Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-lain]
Hadits yang mulia ini juga dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-Bukhari dan lain-lain imam tentang bolehnya orang yang junub dan perempuan haid atau nifas membaca Al-Qur’an. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaannya dan yang termasuk berdzikir ialah membaca Al-Qur’an. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra(Al-Qur’an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap) menjaganya” [Al-Hijr : 9]
- Bersujud ketika mendengar ayat sajadah karena sujud tilawah tidak dipersyaratkan thoharoh menurut pendapat paling kuat.
- Menghadiri shalat ‘ied.
berdasarkan perintah yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
روى البخاري (324) ومسلم (890) عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ . قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ : لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 324) dan Muslim (no. 890) dari Ummu Athiyah radhiallahu ‘anha; beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, baik ‘awatiq(wanita yang baru baligh), wanita haid, maupun gadis yang dipingit. Adapun wanita haid, mereka memisahkan diri dari tempat pelaksanaan shalat dan mereka menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Beliau menanggapi, ‘Hendaklah saudarinya (maksudnya: sesama muslimah, pent.) meminjamkan jilbab kepadanya.
- Melayani suami selama tidak melakukan jima’ (hubungan intim di kemaluan).
Allah berfirman:
ويسألو نك عن المهيض قل هو أذى فاعتز لوا النساء فى المهض ولا تقربو هن حتى يطهرن فاءذا تطهرن فأتو هن من حيش أمر كم الله
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS Al-Baqarah: 222)
“Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh‘ maksudnya jima’ (di kemaluannya) khususnya karena hal itu haram hukumnya menurut ijma’. Pembatasan dengan kata “menjauh pada tempat haidh’ menunjukkan bahwa bercumbu dengan istri yang haidh, menyentuhnya tanpa berjima’ pada kemaluannya adalah boleh. (Tafsir As Sa’di jilid 1, hal 358)
Sabda Nabi shallallahu “alaihi wasallam,
“Lakukanlah segala sesuatu terhadap isterimu kecuali jima.” (Shahih Ibnu Majah no:527, Muslim I:246 no 302)
Ini menunjukan akan bolehnya wanita haid melayani suaminya dengan syarat tidak jima'.
والسلام عليكم ورحمة الله وبر كاته
0 komentar:
Posting Komentar
“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]