30 Maret 2014

Bila Calon Suamiku Lelaki Yang Miskin

Bismillahirrahmanirrahim

Bila Calon Suamiku Lelaki Yang Miskin



Bayangan pernikahan yang nantinya akan dijalaninya, dia harap akan seindah apa yang dia bayangkan. Hidup berbandingkan seorang suami yang 'wah' tanpa cacat. Agama, fisik, materi, dan segalanya oke.

Saat dia membaca kriteria calon suami ideal, bayanga segera menyeruak dalam pikirannya, bahwa nanti dia akan bersuamikan orang seperti dia. Apakah ini salah? Tentu tidak.
Karena semua orang menginginkan kesempurnaan dalam hidup, termasuk calon pendamping hidupnya.

Tapi seorang manusia harus sadar, bahwa terkadang takdir bicara lain. Bahkan seringnya angin berhembus bukan pada arah yang diinginkan nahkhoda.
Saat masa-masa penantian sudah tiba, saat seorang sudah siap membina kehidupan rumah tangga, datanglah seorang lelaki melamar,
Yang ternyata di luar 'dugaannya'! Dia seorang ikhwan 'miskin, alias belum mapan ekonominya. Bagaimana calon istri harus bersikap? Bagaimana dia harus menjawab?

Jadikan agama tolok ukur pertama dan utama

Jika kita berbicara tentang kriteria dan tolok ukur, niscaya semua orang ingin yang lengkap dan sempurna. Tapi adakah? Jika ada, apakah memang dia cocok dengan diri kita?

Memang sangat ideal jika yang datang melamar itu adalah seorang yang memiliki segalanya.
Dia baik agama dan akhlaknya, mampu memberi nafkah lahir batin, penyayang dan penyantun terhadap istri dan keluarga, berasal dari keluarga yang Baik-baik, bertanggung jawab,dan lainnya.

Tapi jika tidak demikian, jadikan standar pertama dan utama adalah agama dan akhlaknya.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إذاجاءكم من تر ضون دينه وخلقه فأنكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد كبير

"Apabila datang kepada kalian seorang yang kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah. Kalau tidak maka akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di bumi."(HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, dengan sanad hasan)

Perhatikanlah, kenapa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam hanya menyebut dua hal ini.
Karena agamalah yang akan menjadi barometer kebaikan dia di hadapan Allah Ta'ala dan manusia lain. Agamalah yang membuat dia takut kepada Allah jika melanggar larangan-Nya, agamalah yang menuntun dia untuk berbuat baik dan menghindari yang haram. Dan agamalah yang akan menjadikan kehidupan rumah tangganya langgeng sampai ajal menjemput dan sampai di surga - Nya.

Apakah anda tidak menginginkan jika rumah tangga kita bukan hanya di dunia, tapi berlanjut di alam kenikmatan dan keabadian??

Adapun akhlak, dengan akhlak seorang akan bersikap santun kepada keluarganya, bertanggung jawab sebagai suami dan orang tua bagi anak-anaknya.
Dengan akhlak pula maka dia akan menjadi halus perangainya di hadapan keluarga dan masyarakatnya. Lalu apa lagi yang diinginkan oleh seorang wanita jika kedua hal ini sudah ada dalam diri seorang yang melamarnya??

Oleh karena itu Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menegaskan bahwa jika lamaran dari orang semacam dia ditolak, maka akan muncul kerusakan dan fitnah yang besar. Karena jika tidak demikian, berarti dia mencari lainnya. Wal'iyadzu billah. !!

Kriteria lain, semakin lengkap semakin bagus

Adapun kriteria lain, maka bukan suatu yang terlarang bagi seseorang untuk menjadikannya sebagai bahan pertimbangan, asalkan bukan tolak ukur utama. Terutama jika dihadapkan pada beberapa pilihan. Dan itulah yang di sarankan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Qais radhiyallahu'anhu ' anha tatkala ada beberapa orang yang berniat melamarnya.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

"Adapun Abu Jahm, dia itu seorang yang suka memukul wanita, adapun Mu'awiyah maka dia itu tidak punya apa-apa. Nikahlah kamu dengan Usamah bin Zaid."(HR. Muslim)

Padahal Usamah dan Mu'awiyah Sama-sama miskin, hal itu karena Usamah mempunyai nilai lebih dibanding dengan Mu'awiyah dalam masalah kedekatan karakter dan umur.

Intinya, menjadikan karakter lain sebagai pertimbangan tidak terlarang secara mutlak, karena manusia memang tercipta telah difitrahkan dengan semua itu. (QS. Ali Imran: 14)

Saat berbicara tentang calon istri, Syaikh Mushthafa al-'Adawi berkata,

"Apabila seorang wanita memiliki ketaatan beragama, kecantikan, keturunan yang baik, dan kekayaan, maka itu lebih utama daripada seorang wanita yang hanya taat beragama namun tidak memiliki sifat lainnya.
Artinya, seorang wanita yang cantik lagi taat beragama itu lebih baik daripada yang taat beragama namun tidak cantik. Namun bila seorang wanita cantik, dari keturunan yang baik, kaya tetapi tidak taat beragama, maka tidak diragukan lagi bahwa wanita yang taat beragama namun tidak cantik itu lebih utama"(Jami' Ahkam An-Nisa' 3/215, 5/327)

Hal lain yang perlu di perhatikan yaitu


Yang sempurna belum tentu yang sesuai

Pernahkah anda melihat barang-barang elektronik? Misalkan kulkas.
Dengan berbagai model, merek ran harga. Saat anda akan membelinya, maka yang di jadikan patokan adalah kesesuaian dengan kondisi anda, bukan mesti kulkas dengan spesifikasi terbaik dan termahal yang harus anda ambil.

Karena jika anda menilih yang terbaik, belum tentu sesuai. Jika anda membeli kulkas yang besar, mahal, bagus, dengan watt tinggi, anda mungkin punya uang karena barusan jual tanah, namun saat sampai di rumah, mungkin akan sangat terasa tak serasi dengan ukuran rumah yang sempit. Bisa jadi malah tidak bisa digunakan, karena tegangan listrik di rumah anda terlalu kecil.

Saya tidak sedang meremehkan, tapi ini hanya ilustrasi kecil. Bahwa yang sempurna belum tentu yang terbaik bagi anda.

Lihat, siapakah anda? Karena yang serba 'wah' bukan mesti yang terbaik. Orang yang bijak adalah orang yang mampu mrlihat dirinya sebelum dia melihat pada orang lain.

Meski seorang wanita, tak tercela walau jemput bola, asal dengan cara syar'i

Imam al-Bukhari membuat bab salam shahih nya, "Bab: Seseorang menawarkan putrinya atau saudara perempuannya kepada laki-laki yang baik."

Umar bin Khathab radhiyallahu'anhu mengisahkan ketika putrinya, Hafshah radhiyallahu'anha menjanda karena meninggalnya suaminya, Khumais bin Hudzafah as-Sahmi radhiyallahu'anhu, seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang meninggal di Madinah.

Umar bertutur, "aku mendatangi Utsman bin Affan untuk menawarkan Hafshah kepadnya.
Utsman berkata, 'Aku akan melihat (bagaimana) perkaraku.' Akupun menunggu beberapa malam. Kemudian Utsman menjumpaiku seraya berkata, ' tampaknya bagiku, sepertinya aku tidak akan menikah dulu pada hari-hariku ini.' Lalu aku menjumpai Abu Bakar seraya mengatakan,'Kalau kamu mau ,aku Nikahkan dengan Hafshah binti Umar?' Maka Abu Bakar diam tidak memberikan jawaban. Aku mendapatkan diriku lebih marah kepada Abu Bakar daripada kepada Utsman.
Aku diam beberapa malam menunggu, tetnyata Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam melamar Hafshah. Akupun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq menjumpaiku dan berkata: 'mungkin engkau akan marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshah, aku tidak menjawab apa yang engkau tawarkan, kecuali karena aku tahu bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menyebut-nyebut Hafshah. Sedang aku tidak suka menyebarkan rahasia beliau. Seandainya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan keinginannya untuk menikahi Hafshah, maka aku akan menerima Hafshah. '"

Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahih-nya(no. 1446) dari Ali radhiyallahu'anhu, dia mengatakan, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau memilih wanita dari kalangan Quraisy dan meninggalkan wanita kita.?" Kata Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah di sisi kalian ada wanita yang bisa aku nikahi?" Aku katakan, "Ya, Putri Hamzah," Rasulullah bersabda," Ia tidak halal bagiku, karena ia putri saudara sepersusuan."

Oleh karena itu, jika sampai berita kepada anda bahwa di sana ada seorang laki-laki yang sangat sesuai dengan kondisi anda, maka tidak mengapa menawarkan diri dengan cara-cara yang syar'i, bukan dengan pacaran atau semisalnya.

Jika lelaki yang melamar itu miskin

Dari semua penjabaran di atas, maka jelaslah bahwa kaya dan miskin buka patokan utama.
Bahkan bukan patokan kedua, tapi dia bisa jadi pertimbangan setelah pertimbangan-pertimbangan yang lebih utama lainnya beres. Jika anda melihat bahwa lelaki itu adalah ikhwan yang baik agamanya, baik akhlaknya, penyantun, dan tanggung jawab, insya Allah, maka kenapa masih ragu dan bimbang menerimanya?

Bukankah kita semua merasa yakin bahwa rezeki di tangan Allah Ta'ala? Betapa banyak harta datang dalam sekejap dan hilang pula dalam sekejap?

Lihatlah Shuhaib ar-Rumi, yang berangkat dari Romawi setelah bebas dari perbudakan ke kota Makkah tanpa membawa apa-apa. Sesampainya di kota Makkah, Allah menjadikannya sebagai orang kaya dengan perdagangannya yang dia jalankan.

Bukankah kita semua melihat banyak permisalan di sekitar kita? Seseorang yang berangkat dari keluarga miskin, menikah dengan istri yang juga miskin, namun Allah meluaskan rezekinya?
Dan juga kebalikannya, betapa banyak pernikahan yang di bangun di atas kesamaan kekayaan, namun berujung dengan kebangkrutan.

Semua itu adalah pelajaran bagi kita. Ambillah pelajaran dari orang lain, sebelum orang lain menjadikan kita sebagai pelajaran.

Qana'ah dan ridha dengan rakdir, siapkan diri melebur bersamanya

Kalau begitu, yang penting adalah menyiapkan diri untuk menerima ikhwan yang baik agama dan akhlaknya, meskipun dia miskin harta dengan kesiapan diri untuk melebur dalam hidup bersama. Berjuang bersama mengarungi kehidupan rumah tangga.

Mari kita tilik sedikit potret salaf.
Putri konglomerat, Asma' binti Abu Bakar radhiyallahu'anha yang menikah dengan sahabat mulia tapi miskin, Zubair bin Awwam radhiyallahu'anhu.

Asma' mengisahkan, " Zubair menikahiku, saat itu dia tidak memiliki harta apapun di muka bumi dan tidak pula budak, melainkan seekor unta untuk mengairi sawah dan seekor kudanya. Sayalah yang memberi makan kudanya, saya pula yang mengambil air dan membuat timbanya, sekaligus yang memasak adonan roti. Saat itu saya belum bisa membuat adonan roti, hanya saja tetangga-tetanggaku para wanita Anshar yang memhuatkan roti untukku. Mereka adalah wanita-wanita yang baik. Saya membawa biji kurma di atas kepalaku dari tanah Zubair yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadnya.
Tanah itu berjarak 2/3 farsakh. Suatu hari saya datang sambil membawa biji kurma. Di tengah jalan saya bertemu dengan Rasulullah bersama para sahabat Anshar.
Beliau memanggilku agar saya membenceng di belakang beliau.
Namun saya malu harus berjalan bersama kaum laki-laki. Saya pun ingat cemburunya Zubair. Dia adalah lelaki yang sangat pencemburu. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa saya malu. Akhirnya beliau pun berlalu. Di rumah ,saya bertemu dengan Zubair, saya ceritakan kepadnya bahwa saya bertemu dengan Rasulullah saat membawa hiji kurma di atas kepala. Saat itu beliau bersama para sahabat Anshar.
Beliau memintaku naik, tapi saya malu dan teringat cemvurumu. Maka Zubair berkata,'Sebenarnya lebih berat bagiku jika engkau membawa biji kurma tersebut daripada engkau seandainya membonceng Rasulullah. '

Sampai suatu saat Abu Bakar mengirimkan seorang pembantu kepadaku yang mengurusi kuda. Dengan itu seakan-akan dia telah memerdekakan aku."(HR. Bukhori: 5224, Muslim: 2182)

Kehidupan mereka bahagia, karena kekayaan dan kebahagiaan bukan pada materi, tapi pada hati yang Qana'ah dengan pemberian Allah dan ridha dengan ketentuan-Nya.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya, dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat Qana'ah(merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya. "(HR. Muslim: 1054)

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: "Ridhalah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya(merasa kecukupan)." (Hasan, HR. At-Tirmidzi: 2305 dan Ahmad: 2/310)

Wallahu Ta'ala A'lam


Oleh:
Ustadz. Abu Yusuf Ahmad Sabiq Lc.
(Sumber: Majalah Al-Mawaddah vol. 72-Jumadal Ula 1435 H. Hlm.12-15)


Disalin oleh:
Radinal Maasy(Ibnu Abdillah)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Bila Calon Suamiku Lelaki Yang Miskin

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter