17 Mei 2013

Hakekat Ilmu

بســـــــــــــــــــــم الله الرحمن الرحيــــــــــــــــــم

 

Pengertian Ilmu


Yang dimaksudkan ilmu di sini adalah ilmu syar’i, ilmu yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, dan diwariskan kepada para ulama pewaris para Nabi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Barangsiapa meniti satu jalan untuk mencari ilmu, niscaya –dengan hal itu- Allah jalankan dia di atas jalan di antara jalan-jalan sorga. Dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayap mereka karena ridha terhadap thalibul ilmi (pencari ilmu agama). Dan sesungguhnya seorang ‘alim itu dimintakan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, dan oleh ikan-ikan di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan seorang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama daripada seluruh bintang-bintang. Dan sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Baramngsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang banyak. [HR. Abu Dawud no:3641, dan ini lafazhnya; Tirmidzi no:3641; Ibnu Majah no: 223; Ahmad 4/196; Darimi no: 1/98. Dihasankan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin 2/470, hadits no: 1388]

Marilah kita perhatikan hadits yang agung ini. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan keutamaan menuntut ilmu pada awal kalimat, dan keutamaan ‘alim (orang yang berilmu) pada pertengahan kalimat, lalu pada akhir kalimat beliau n menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu yang diwariskan para Nabi, yaitu ilmu agama yang haq!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرِ فَقِيهٍ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ

Semoga Allah mengelokkan wajah seseorang yang telah mendengar perkataanku, lalu dia menyampaikannya. Terkadang orang yang membawa fiqih (ilmu; pemahaman; hadits Nabi) bukanlah ahli fiqih. Terkadang orang yang membawa fiqih membawa kepada orang yang lebih fiqih (faham) darinya. [HR. Ibnu Majah no:230, dan ini lafazhnya; Ahmad 5/183; Abu Dawud no: 3660; dan lainnya]

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: “Beliau Shalallahu alaihi wa sallam menamakan perkataan beliau dengan nama ilmu, bagi orang yang merenungkan dan memahaminya”. [Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadhlihi]


Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Telah diketahui bahwa ilmu yang diwariskan oleh para Nabi adalah ilmu syari’at Allah ‘Azza wa Jalla, bukan lainnya. Sehinga para Nabi tidaklah mewariskan ilmu tekhnologi dan yang berkaitan dengannya kepada manusia.” [Kitabul ilmi, hal: 11, karya Syeikh Al-Utsaimin]

Ini bukan berarti bahwa ilmu dunia itu terlarang atau tidak berfaedah. Bahkan ilmu dunia yang dibutuhkan oleh umat juga perlu dipelajari dengan niat yang baik.

Beliau juga berkata: “Yang kami maksudkan adalah ilmu syar’i, yaitu: ilmu yang yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, yang berupa penjelasan-penjelasan dan petunjuk. Maka ilmu yang mendapatkan pujian dan sanjungan hanyalah ilmu wahyu, ilmu yang diturunkan oleh Allah”. [Kitabul ilmi, hal: 11, karya Syeikh Al-Utsaimin]


Oleh karena itulah wahai saudara-saudaraku yang tercinta, istilah ilmu tidaklah dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya kecuali terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau kesepakatan seluruh umat terhadap suatu perkara yang menghilangkan perselisihan, dan apa-apa yang dapat mendekatkan kepadanya. [Diambil dari perkataan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam kitab Bahjatun Nazhirin 2/461]


Kewajiban Menuntut Ilmu

Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa berjalan dalam rangka menuntut ilmu maka akan dimudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa jalan yang pertama kali harus ditempuh untuk mencapai jannah (surga) tidak lain adalah dengan cara menuntut ilmu. Barangsiapa menempuh jalan lainnya, atau menyangka bahwa dirinya akan mendapatkan kenikmatan jannah meskipun tanpa menuntut ilmu, maka akan sia-sialah usahanya meskipun dengan susah-payah dia menjalaninya. Bahkan dia akan menjadi orang yang merugi karena sia-sia amalannya.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Kebaikan anak Adam adalah dengan iman dan amal shalih, dan tidaklah mengeluarkan mereka dari kebaikan, kecuali dua perkara:

Kebodohan, kebalikan dari ilmu, sehingga orang-orangnya akan menjadi sesat.
Mengikuti hawa-nafsu dan syahwat, yang keduanya ada di dalam jiwa. Sehingga orang-orang akan mengikuti hawa-nafsu dan dimurkai (oleh Allah)”. (Majmu’ Fatawa 15/242)

Demikian juga orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan kebodohan, maka sesungguhnya mereka lebih banyak merusak daripada membangun! Sebagaimana dikatakan oleh sebagian Salafush Shalih:

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِجَهْلٍ , أَفْسَدَ أَكْثَرَ مِماَّ يُصْلِحُ

Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan kebodohan, dia telah membuat kerusakan lebih banyak daripada membuat kebaikan. (Majmu’ Fatawa 25/281)

Oleh karena bahaya penyakit kebodohan yang begitu besar, maka agama memberikan resep obat untuk menghilangkan penyakit tersebut. Yaitu mewajibkan para pemeluknya untuk menuntut ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah, no:224, dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Shahih Ibni Majah]

Demikian juga Alloh Ta’ala memerintahkan kepada umat untuk bertanya kepada ulama mereka.

Firman Alloh:

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. 21:7)

Shahihkah Hadits Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri Cina


اطلبوا العلم ولو في الصين

Hadis ini adalah hadis yang batil. Bahkan disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at, “Ini adalah hadis dusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. As-Syaukani mengatakan,

‘Hadis ini diriwayatkan al-Uqaili dan Ibn Adi dari Anas secara marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).’ Ibn Hiban mengatakan, ‘Ini adalah hadis batil, tidak ada sanadnya (laa ashla lahuu), dalam sanadnya ada Abu Atikah, dan dia adalah munkarul hadis.’

Demikian keterangan Syaukani dalam al-Fawaidul Majmu’ah, hal. 272. Demikian pula keterangan di Maqasidul Hasanah hal. 93, dan Kasyful Khafa, 1/138. Syaikh al-Albani mengatakan menjelaskan status hadis ini, bahwa hadis ini adalah hadis batil. Kemudian beliau menyebutkan beberapa periwayat hadis dan menjelaskan: Kesimpulannya bahwa hadis ini, status yang benar adalah sebagaimana keterangan Ibn Hibban dan Ibnul Jauzi – yaitu bahwa hadis ini adalah hadis batil, kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – karena tidak ada jalur satupun yang bisa dijadikan sebagai penguat. (Silsilah Dhaifah, 1/415 – 416)


Hadits di atas diriwayatkan oleh: Ibnu Adi (2/207), Abu Nu’aim (Akhbar Ashbahan: 2/106), al-Khotib (Tarikh: 9/364 dan ar-Rihlah: 1/2), al-Baihaqi (al-Madkhol: 241, 324), Ibnu Abdil Barr (Jami’ Bayanil Ilmi: 1/7-8) dari jalan Hasan bin Athiyah (ia berkata):
Menceritakan kepada kami Abu A’tikah Tharif bin Sulaiman dari Anas secara marfu’ (sampai kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam).
Mereka semunya menambahkan:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

Kecacatan hadits ini terletak pada Abu A’tikah. Dia telah disepakati akan kelemahannya. Al-Bukhori Rohimahulloh berkata: “Munkarul hadits.” An-Nasa‘i Rohimahulloh berkata: “Tidak terpercaya.” Abu Hatim Rohimahulloh berkata: “Haditsnya hancur.”

Al-Marwazi Rohimahulloh bercerita: “Hadits ini pernah disebutkan di sisi Imam Ahmad, maka beliau mengingkarinya dengan keras. Ibnul Jauzi Rohimahulloh mencantumkan hadits ini dalam al-Maudhu’at (1/215) dan berkata: Ibnu Hibban berkata: ‘Hadits batil, tidak ada asalnya.’ Dan disetujui as-Sakhowi.” (al-Maqoshid al-Hasanah hlm. 63)

Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits batil dan tidak ada jalan lain yang menguatkannya. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 416)


Shohih-kah tambahan-nya?


Adapun tambahan dalam hadits ini dengan lafazh:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

Tentang tambahan di atas Syaikh al-Albani Rohimahulloh berkata: “Lafazh ini diriwayatkan dalam banyak sekali jalur dari Anas Rodhiyallohu ‘anhu sehingga bisa terangkat ke derajat hasan sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh al-Mizzi. Saya telah mengumpulkan hingga sekarang sampai delapan jalur. Selain Anas, hadits juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat lainnya seperti: Ibnu Umar, Abu Sa’id, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Ali. Saya sekarang sedang mengumpulkan jalur-jalur lainnya dan menelitinya sehingga bisa menghukumi statusnya secara benar baik shohih, hasan, atau lemah. Setelah itu, saya mempelajarinya dan mampu mencapai kurang lebih dua puluh jalur dalam kitab Takhrij Musykilah al-Faqr (48-62) dan saya menyimpulkan bahwa hadits ini derajatnya hasan.” (at-Tuhfatul Karimah Fi Bayani Ba’dhi Ahadits Maudhu’ah wa Saqimah hlm. 60)

Nasehat Untuk Penuntut Ilmu


asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, semoga Allah Ta'ala merahmatinya,berkata.

Saya wasiatkan bagi seluruh kaum muslimin untuk bertakwa kepada Allah l dan mempelajari agama di berbagai madrasah ataupun tempat menuntut ilmu agama lainnya, dan hendaknya mereka bertanya kepada ulama mengenai hukum-hukum agama yang masih menjadi permasalahan bagi mereka, karena Allah berfirman:

“Dan bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahui.” (al-Anbiya: 7)

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, bersabda:

مَنْ يرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan memahamkannya dalam agama.”

Adapun perkara yang paling penting dalam menuntut ilmu adalah membaca Al-Qur’an Al-Karim dan memahami maknanya, serta mencurahkan perhatian dan mempelajari sunnah-sunnah Rasulullah n, juga mengambil faedah dari kitab-kitab Ahlus Sunnah, kitab tafsir Al-Qur’an Al-Karim, dan kitab-kitab yang menerangkan hadits-hadits Nabi n buah karya para ulama yang terkenal dengan keilmuannya, kebaikan agama dan akidahnya.

Rasul shalallahu alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya)

Beliau Rahimahullah juga mengatakan,

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu dari rumah-rumah Allah yang mereka membaca Kitabullah dan saling mengajarkannya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang ada di sisi-Nya. Barang siapa yang berlambat-lambat dalam amalannya, niscaya tidak akan bisa dipercepat oleh nasabnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)

Telah diketahui bahwasanya mempelajari syariat Allah yang untuk tujuan itulah manusia diciptakan adalah kewajiban yang paling penting. Allah l telah memudahkan jalan untuk menuntut ilmu bagi semua orang, baik itu melalui siaran Idza’ah Al-Qur’an Al-Karim1, Nur ‘alad Darb2, maupun halaqah-halaqah ilmu yang diadakan di masjid, atau melalui kajian intensif ilmiah dan media yang lain. Seorang mukmin ataupun mukminah wajib untuk memerhatikan dan mengambil faedah darinya, di mana pun dia berada.
Yang perlu diperhatikan adalah larangan menyimak segala sesuatu yang dapat merusak hati dan akhlak, seperti nyanyian, kaset-kaset yang menyimpang, ataupun alat-alat musik. Semua ini merusak hati dan akhlak, sehingga wajib untuk memperingatkannya dan menasihatkan untuk meninggalkannya, dalam rangka mengamalkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada di dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta orang-orang yang saling berwasiat dengan al-haq dan saling berwasiat di dalam kesabaran.” (al-‘Ashr: 1—3)

Juga sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قِيْلَ: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama ini adalah nasihat.” Kemudian ditanyakan kepada beliau, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau mengatakan, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para imam kaum muslimin serta orang-orang awam di kalangan mereka.” (Sahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya)


Abdullah bin al-Mu’taz rahimahullah berkata:

 “Ilmu seorang munafik itu terletak pada ucapannya, sedangkan ilmunya seorang mukmin terletak pada amalnya.” Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan kau tinggalkan menuntut ilmu dengan alasan beramal, dan jangan kau tinggalkan amal dengan alasan menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45).


Malik bin Dinar rahimahullah berkata:

“Sesungguhnya seorang alim/ahli ilmu apabila tidak mengamalkan ilmunya maka nasehatnya akan luntur dari hati sebagaimana aliran air hujan yang melintasi bongkahan batu.” al-Ma’mun pernah berkata, “Kami lebih membutuhkan nasehat dengan perbuatan daripada nasehat dengan ucapan.” Syaikh Abdurrazzaq menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak yang rajin beribadah di suatu masjid yang dia biasa sholat di sana. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku pun berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37).
Alangkah benar perkataan bapak tua tersebut, Ibnu Umar mengatakan, “Dahulu kami -para sahabat- apabila tidak menjumpai seseorang pada jama’ah sholat subuh dan isyak maka kamipun menaruh prasangka buruk kepadanya -jangan-jangan dia munafik, pent-.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dll, lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 37).



Semoga Alloh memberikan semangat kepada kita semua untuk menuntut ilmu agama dan mengamalkannya, sehingga meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.Ya Allah, jadikanlah ilmu kami hujjah untuk membela kami, bukan hujjah yang menjatuhkan kami!!!!

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Hakekat Ilmu

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter