30 Mei 2013

HUKUM BERDOA DI KUBURAN.

بسْـــــــــــــــم الله الرّحمن الرّحيْـــــــــــــــم






HUKUM BERDOA DI KUBURAN.


Oleh: Ustdz, Abdullah Zein, Lc,MA hafizhahullah
 

Sebagaimana telah maklum bahwa do’a merupakan salah satu  jenis ibadah yang sangat agung dalam agama islam. Allah azza wa jalla telah  memotivasi umat manusia untuk memohon kepada-Nya dan Allah subhanahu wa ta’ala berjanji akan mengabulkan permohonan mereka yang berdo’a kepada-Nya. Diantaranya adalah menentukan tempat dan waktu pilihan, yang lebih mustajab.

            Namun, terus setan berusaha menyesatkan para hamba dengan mengiming-ngimingi mereka tempat dan waktu yang diklaim mustajab, padahal tak ada petunjuk agama tentangnya. Tidak sedikit manusia yang terjerat ranjau trsebut. Sehingga mereka lebih memilih berdo’a di kuburan dan tempat-tempat  yang dianggap keremat, di banding berdo’a dimasjid. Lebih parah lagi, ada yang begitu khusu’ mengiba dan memohon kepada penghuni kubur ! Bukannya mendo’akan mayit, malah berdo’a kepadanya ! Padahal mestinya peziarah mendo’akan si mayit bukan momohon kepada si mayit.

Sengaja Berdo’a Untuk Diri Sendiri Di Kuburan Adalah Bid’ah


            Diantara dalil yang menunjukan akan hal itu adalah:

Pertama : Do’a merupakan salah satu ibadah mulia, dan sebagaimana telah diketahui bersama bahwa ibadah apapun tidak akan diterima Allah Azza Wa Jalla kecuali jika memenuhi DUA syarat yaitu ikhlas dan mangikuti tuntunan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam ( ittiba’)
            Andaikan berdo’a dikuburan merupakan ibadah, mengapa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkannya kepada umat? Kenapa pula para assalafus shalih tidak memperaktekannya ? Tidak ada dalil dari Al-Qur’an maupun hadits shahih yang menunjukan bahwa kuburan merupakan tempat favorit untuk berdo’a. Ditambah dengan begitu banyaknya kitab yang ditulis para ulama guna menjelaskan adab berdoa, tidak ada satupun di antara  Assalafus shalih dan ulama mu’tabar yang mengatakan disyari’atkannya berdo’a di kuburan.
            Ini menunjukan bahwa praktek adalah bid’ah. Andaikan itu baik, niscaya mereka ada di garda terdepan dalam memperaktekannya.

Kedua :Usaha para shahabat untuk melarang peraktek do’a dikuburan dan segala sesuatu yang bias mengantarkan ke sana. Berikut Fakta nyatanya:


  • Para shahabat radhiyallahu’anhum “Ketika menaklukkan negeri syam, Irak dan yang lainnya, jika menemukan kuburan yang sengaja diziarahi oleh orang-orang untuk berdo’a di sana, mereka akan menutupnya”.(1)
  • Para shahabat ketika menakluk kan Baitul Maqdis, mereka tidak bergegas untuk menuju makam Nabi Ibrahim ‘alaihissalatu wa sallam atau nabi lainnya, guna berdo’a atau shalat disitu. Begitu pula para ulama salaf sesudah mereka.

Imam Ibnu Waddah ( w.286 H) menerangkan, “Sufyan ats-Stauri ( w.161 H ) jika masuk masuk masjid Baitul Maqdis, beliau shalat didalamnya. Dan beliau tidak menuju situs-situs itu ataupun shalat disana.
Begitu pula prakek para imam panutan selain beliau rahimahullah. Waki’ (w. 197 H) juga pernah mendatangi masjid Baitul Maqdis dan yang dilakukannya tidak lebih dari apa yang dilakukan Sufyan. Hendaklah kalian mengikuti para imam yang telah diketahui ( kebaikannya). Orang terdahulu bertutur, “ Betapa banyak praktek yang hari ini dianggap biasa, padahal dahulu dinilai munkar; (sekarang) disukai padahal dulu dibenci; (sekarang )dianggap taqarrub (ibadah yang bias mendekatkan kepada Allah) padahal justru sejatinya menjauhkan ( pelakunya dari Allah). Setiap bid’ah selalu ada yang menghiasainya.(2)


  • Para shahabat Radhiyallahu’anhum,ketika menaklukkan kota Tustur dan mendapatkan jasad Nabi Danial ‘alaihissalatu wassalam. Mereka  menggali tiga belas liang kubur di berbagai tempat, lalu memakamkan Danial ‘alaihissalatu wassala, di salah satunya dimalam hari. Setelah itu seluruh kuburan tersebut disamakan, agar orang-orang tidak tahu manakah makam beliau.(3)


Ketiga: Para ulama salaf membenci prilaku menyengaja berdo’a di kuburan dan menilainya sebagai bentuk bid’ah. Berikut buktinya:

  •  Diriwatkan bahwa suatu hari Zainal Abidin ( w.93 H) melihat seseorang masuk ke salah satu pojok di makam Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, lalu berdo'a disana. Zainal Abidin rahimahullah pun memanggilnya seraya berkata,”  Maukah kuberitahukan padamu suatu hadits yang aku dengar dari bapakku, dari kakekku, dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda,”  janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai ‘ied (tempat uyang dikunjungi rutin secara berkala) dan rumah kalian sebagai kubuuran. Bershalawatlah untukku, sesungguhnya shalawat dan salam kalian akan sampai padaku dimanapun kalian berada.” (4)
  • Suhail bercerita di suatu kesempatan ia dating ke makam Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,untuk mengucapkan salam pada beliau. Saat itu al-Hasan bin al-Hasan (w.97 H) sedang makan di salah satu rumah Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Suhail berkata,” beliau memanggilku dan menawariku makan. Namun aku tidak makan. Beliau bertanya, “ mengapa aku tadi melihatmu berdiari? “ Aku menjawab, “ Aku berdiri untuk mengucapkan salam kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam.” Beliau  rahimahullah menimpali ,” Jika engkau masuk masjid, maka ucapkanlah salam kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Sesungguhnya  beliau shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda: “ Shalatlah dirumah dan jangan kalian jadikan rumah seperti kuburan. Allah subhanahu wa ta’ala melaknat kaum yahudi, lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi mereka menjadi masjid. Bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada.” (5)

Dua atsar diatas menunjuk bahwa menyengaja memilih makam Nabi shalallahu alaihi wa sallam sebagai tempat berdo’a, termasuk perwujudan dari menjadikannya sebagai ‘ied. Dan ini terlarang. Cermatilah bagaimana tabi’in terbaik dari kalangan Ahlul Bait; Zainal Abidin rahimahullah, melarang orang yang menyengaja berdo’a di makam Rasul shalallahu allaihi wa sallam,  dan berdalil dengan hadits yang ia dengar dari bapaknya dari kakeknya. Beliau shalallahu alaihi wa sallam tentu lebih paham akan makna hadits tersebut, di banding orang lain. Begitu pula keponakannya; al-Hasan bin al-Hasan rahimahullah; salah satu pemuka Ahlul Bait memahami hal serupa.
Keterangan di atas bersumber dari Ahlul Bait dan penduduk kota madinah. Nasab dan tempat tinggal mereka lebih dekat dengan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Mereka jelas lebih cermat dalam memahami permasalahan ini, karena mereka lebih membutuhkan ilmu tentang itu dibanding yang lainnya.(6)


  •  Diantara fakta yang menunjukan bahwa ulama salaf menilai perbuatan menyengaja berdo’a di kuburan termasuk bid’ah, mereka telah menyatakan bahwa jika seseorang telah mengucapkan salam kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam di makamnya lalu ingin berdo’a untuk dirinya sendiri, hendaklah ia berpaling dan menghadap kiblat serta tidak menghadap makam beliau shalallahhu alaihi wa sallam. Dan ini merupakan pendapat empat imam mazhab dan ulama islam lainnya.(7) Padahal  Nabi shalallahu alaihi wa sallam merupakan manusia yang  paling mulia. Bagaimana  halnya dengan makam selainnya beliau shalallahu alaihi wasallam yang kemuliaannya jauh  bawah beliau shalallahu alaihi wa sallam??!

Abul Hasan az-Za’farani (w.517 H) menerangkan,” Barangsiapa bermaksud mengucapkan salam kepada mayit. Hendaklah ia mengucapkannya sambil menghadap kuburan. Jika ia ingin berdo’a hendakalah berpindah dari tempatnya dan menghadap kiblat”.(8) 

Keempat:Sebamana telah di jelaskan sebelumnya bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, melarang shalat di kuburan aatu menghadap kearahnya. Hikmahnya agar orang tidak terfitnah dengan kuburan. Do’a di kuburan lebih pantas untuk dilarang, sebab peluang untuk menimbulkan fitnah lebih besar.
         Orang yang berdo’a di kuburan dalam keadaan terpepet karena dililit masalah besar dan begitu berharap do’anya dikabulkan, lebih besar peluangnya untuk terfitnah dengan kuburan, dibandingkan dengan orang yang  shalat di situ dalam keadaan sehat wal ‘afiat. Karena  itu harus lebih dilarang agar orang tidak terjerumus ke dalam penyimpangan.(9)

Kelima: Diantara kaidah syari’at yang telah disepakati para ulama; kaidah saddu adz-dzara’I ( mencegah timbulnya kerusakan dengan menutup pintu yang menghantarkan kepadanya). Dan berdo’a di kuburan sebagaimana telah dimaklumi bias menghantarkan kepada perbuatan memohon kepada penghuni kubur, dan ini merupakan kesyirikan. Jadi pintu yang menghantarkan kesana harus ditutup rapat-rapat. (10)

Berbagai Jenis Orang Yang Berdo’a Di Kuburan Dan Hukum Masing-Masing:

Do'a kuburan ada beberapa jenis;

Pertama: Do’a untuk meminta hajat kepada penghunni kubur, baik dia seorang nabi, wali atau yang  lainnya. Ini jelas syirik akbar. Allah Azza wajalla, memerintahkan:

وسْ ئلو االله من فضْله
“ Memohonlah pada Allah sebagian dari karunia-Nya ( an-Nisa:32)

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mewanti-wanti:

إذا يأ لْت فا سْألْ الله، وإذا اسْتعنْت فا سْتعنْ بالله
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah,” (11)

Imam Ibnu Abdil Hadi rahimahullah( w.744 H) menerangkan bahwa berdo’a memohon kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala hukumnya adalah haram dan  dikatagorikan syirik, berdasarkan ijma’ para Ulama. (12)

Kedua: Sengaja datang kekuburan hanya untuk berdo’a disitu, atau untuk ziarah kubur plus berdo’a, dengan keyakinan bahwa do’a disitu lebih mustajab, karena keistimewaan yang dimiliki tempat tersebut. Berdo’a  disitu lebih afdol dibanding berdo’a di masjid atau rumah.

       Potret ini mengandung unsur  kesengajaan  memilih kuburan sebagai tempat untuk berdo’a. Do’a ini tidak akan dilakukan melainkan karena dorongan keyakinan akan  keistimewaan tempat tersebut dan keyakinan bahwa tempat itu memiliki peran dalam menjadikan do’a lebih mustajab. Karena itulah jens kedua ini menjadi terlarang dan di katagorikan bid’ah.

        Tatkala berbicara tentang hukum shalat dikuburan, Imam as-Suyuthi rahimahullah menjelaskan, “ jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdo’a untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan terkabulnya do’a di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wa sallam, menyimpang dari agama dan syariatnya.
Juga dianggap bid’ah dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya shalallahu alaihi wa sallam maupun para imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan Sunnah beliau,” (13)

Ketiga: Berdo’a di kuburan karena kebetulan, tanpa menyengaja. Seperti  orang yang berdo’a kepada Allah di perjalanannya dan kebetulan melewati kuburan. Atau orang yang berziarah kubur terus mengucapkan salam kepada penghuni kubur, meminta keselamatan untuk dirinya dan para penghuni kubur, sebagaimana disebutkan dalam hadits.

          Jenis do’a seperti ini deprerolehkan. Hadits yang memotivasi untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur menunjukan bolehnya hal itu. Dalam hadits Buraidah bin al-Hushaib radhiyallahu anhu disebutkan :

أسْأل الله لنا ولكم الْعا فية
“Aku memohon pada Allah keselamatan untuk kami dan kalain.” (HR. Muslim ( II/ 671 no.975)

Dalam hadits Aisyah radhiyallahu’anha disebutkan:

ويرْ حم الله الْمسْتقْدمين منّا والْمستأْخرين
“Semoga Allah merahmati orang-orang terdahulu kami dan yang akan datang ( HR.Muslim (II/671 no.974)
         
            Do’a yang tidak ada unsur kesengajaan biasanya pendek, sebagaiman disebutkan dalam dua hadits di atas. Jika ada yang ingin memperaktekkan do’a jenis ketiga ini, sebaliknya ia mencukupkan diri degan do’a dan salam yang diajarkan dalam sunnah dan tidak menambah-nambahinya. Karena para ulama salaf membenci berdiam lama di kuburan.

              Imam Malik rahimahullah (w.179 H ) berkata,” Aku memandang tidak boleh berdiri untuk berdo’a di kuburan Nabi shalallahu alaihi wasallam, namun cukup mengucapkan salam lalu berlalu.” ( Asy-Syifa’ karya al-Qadhi ‘Iyadh ( II/85). Wallahu ta’ala a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Ditulis ulang oleh: Ibnu Abdillah
Kota Tapis Berseri : Pringsewu,Lampung


FOOTNOTE:
1.( Minhajus sunnah karya Ibn Taimiyyah (II/438). Lihat ibid (I/480-481))
2. (al-Bida’ wan Nahy ‘anha hal.50 )
3.( kisah tersebut disebutkan oleh Ibnu Ishaq rahimahullah dalam Sirahnya riwayat Yunus bin Bukair hal. 49.Juga disebutkan Ibnu Katsir dalam al-Bidyah wan Nihayah dan beliau menyatakan bahwa sanadnya hingga Abu al-‘Aliyah sahih, lalu beliau menyebutkan jalu-jalur periwayatan lain yang mengindikasikan bahwa kejadian tersebut benar adanya. Periksa; al-Bidayah wan Nihayah ( II/376-379),Iqtidha ash-shurathil Mustaqim ( II/199-200) dan Ighatsah al-Lahfan (I/377))
4. ( Diriwatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf ( V/177-178 no.7624) dan ini adalah redaksi beliau. Juga  diriwayatkan loeh Isma’il al-Qadhi dalam Fadhlush Shalat (hal. 35 no. 20) dan Abu Ya’la dalam Musnadnya ( I/361 no.469). Ibnu Abdil Hadi dalam ash-Sharim al-Munky (hal.468) berkata.” Kisah tersebut diriwatkan Abu Ya’la dan al-Hafizh Abu Abdillah al-Maqdisy dalam Al-Ahadits al-Mukhtarah. Ini merupakan hadits yang mahfuzh dari Ali bin al-Husain Zainal Abidin rahimahullah dan memiliki banyak syawahid ( riwayat penguat)”. Syaikh al- Albani rahimahullah menilainya shahih. Lihat : Fadhlush Shalat hal.36)
5. ( Diriwayatkan oleh Isma’l al-Qadhi dalam Fadhlush Shalat (hal. 40 no.30) dan ini adalah redaksi beliau. Diriwayatkan  pula oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (III/577 no.6726) dan Ibnu Abi Syaibah al-Mushannaf ( V/178 no.7625). Dua atsar diatas memiliki syahid dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan Abu Dawud (II/ 366 no.2042) dan Ahmad (XIV/ 403 no.8804). Dalam al-Adzkar (hal.173) Imam Nawawi rahimahullah menilai sanad hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu shahis dan diamini as-Sakhawi dalam al-Qaulul Badi’ (hal.312). Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam ar-Radd ‘ala al- Akhna’I (hal,92) dan Ibnu Hajar sebagaiman dalam al-Futuhat ar-Rabbaniyyah (III/313) menyatakan hasan. Adapun Ibn Abdil Hadi dan al-Albani menilainya shahih. Lihat: Ash-Sharim al-Munky ( hal.490) dan Shahih al-Jami’ (II/706 no.3785)
6. (Periksa Iqtidha’ush Shirathil Mustaim (II/245) dan Ighatsah al-Lahfan (I/362))
7. ( Cermati al-Majmu’ (V/286), Iqtidha’ush Shirathil Mustaqim (II/239), Ighatshah al-Lahfan (I/374) dan ad-Du’a wa Manazilatuh min al-‘Aqidah al-Islamiyyah karyaa Jailan al-‘Arusi(II/614-616)
8. ( Sebagaimana dinukil an-Nawawi dalam al-Majmu’ (V/286))
9. ( Lihat: Iqtidha’ush Shirathil mustaqim(II/196-197)
10. (Baca: Minhaj as-sunnah (II/439-440) , Ighatsah al-Lahfan (I/396,398) dan ad-Du’a wa Manzilatul (II/483-384))
11. (HR. Tirmidzi, hal.566 no.2514  dan beliau berkomentar, “ hasan shahih”)
12. (cermati: Ash-Sharim al-Munki (hal.543) dan Shiyanah  al-Insan  karya as-Sahsawani (hal.234)
13. ( Al-Amr bin al-Ittiba’ (hal.139). Lihat pula: Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim (II/193).

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : HUKUM BERDOA DI KUBURAN.

1 komentar:

  1. Assalammualaikum wr wb ,Dosa yang tidak di ampuni oleh Allah adalah menduakan Nya,

    BalasHapus

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter