بســـــــــــــــم الله الرّحمن الرّحيـــــــــــــــــم
Taqlid
Pengartian Taqlid seperti yang di katakan para ulama Ushul Fikih dari kalangan Syafi’iyyah seperti imam Ghazali dalam kitabnya al- Mustashfa ( II: 387)
قبوْل قوْل بلا حجّة
“( Taqlid itu adalah) menerima sebuah pendapat tanpa bardasarkan dalil dan hujjah” (lihat pula : Al Ihkam fi Ushulil Ahkam (IV: 221) oleh al Amidi))
Atau juga ulama lainnya yang mengatakan bahwa taqlid itu adalah:
قبوْل قوْل الغيْر منْ دوْن حجّة
“ Mengambil dan mengikuti pendapat orang lain, tanpa brdasarkan dalil dan hujjah” ( Irsyadun Nuqqad ila Taisiril Ijtihad hal. 155,oleh ash Shan’ani)
Berbeda dengan ittiba’, karena ittiba’ adalah mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dalil dan hujjah serta dasar pengambilannya.
Hukum Taqlid
1.Haram
Dalam hal ini berlaku 3 keadaan;
Pertama: bagi mereka yang jelas-jelas mengikuti ( taqli) orang lain yang bukan hujjah, dalam kebathilan, seperti seorang yang mengikuti orang lain dalam kesyirikan atau kebid’ahan atau kemaksiatan.
Sebagaiman Firman Allah Ta’ala
وإذا قيْل لهم اتّبعواْ مآ أنْزل الله قا لوْابلْ نتّبع مآ ألْفيْنا عليْه ءابآءنآ، أولو كا ن ءابآ ؤهمْلا يعْقلوْن شيْئا ولا يهتدوْن
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘ ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab :’ ( tidak ) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari ( perbuatan) nenek moyang kami’. ‘ ( apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?’” ( QS. Al Baqarah; 170)
Kedua: Bagi mereka yang mengikuti ( Taqlid ) kepada seorang ulama, padahal mereka telah megatahui bahwa ulama yang mereka ikuti itu tersalah dan menyelisihi dalil-dalil al- Qur’an dan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Larangan itu berdasarkan Ayat di atas.
Jadi, tidak salah ketika seorang mengikuti Ulama tertentu dlam menjalankan Agama Islam ini, Karena Allah Ta’ala berfirman:
........ فسْئلوا أهل الذّكرإنْ كنْتمْ لا تعْلموْن
“ Maka bertanyalah kepada ahli dzikr( ulam yang memahami al-Qur’an dan sunnah) bila kamu tidak mengetahui”. ( QS. An – Nahl: 43)
Tapi tatkala dia telah mengetahui bahwa ternyata ulama itu menyalahi ketegasan dalil al Qur’an dan sunnah, maka pada saat itulah dia wajib untuk kembali kepada dalil al-Qur’an dan sunnah, Karena Allah Ta’ala telah barfirman:
فإنْ تنزعْتمْ فى شىء فردّوه إلى الله والرّسوْل إنْكنْتمْ تؤْ منوْن بالله واليوْ م اللأخر، ذالك خير وأحْسن تأ ويلا
“ .... Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( al-Qur’an) dan Rasul ( Sunnahnya ), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. An_- Nisa : 59)
Ketiaga: Bagi para ulama yang telah mampu berijtihad atau telah mencapai derajat mujtahid ( para ahli ijtihad). Mereka di haramkan untuk taqlid kepada ulama lain, sebab mereka telah mampu berijtihad sendiri berdasarkan ilmu yang ada pada mereka dan dengan segenap kemampuannya, maka mereka mendapatkan dua ganjaran, dan bila mereka salah dalam ijtihadnya, maka mereka mendapatkan satu ganjaran.
Sebagiman Sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam:
إذا حكم الحا كم، فا جْتهد ثمّ أصا ب فله أجران وإذا حكم فاجْتهد ثمّ أجطأ فله أجر
“ Apabila seorang hakim( Mujtahid) menetapkan hukum,dan ia berijtihad, kemudian benar dalam ijtihadnya tersebut, maka ia mendapatkan dua ganjaran. Dan bila ternyata ia salah dalam ijtihadnya tersebut, mak ia mendapatkan satu ganjaran”. [1]
2.Mubah (boleh )
Dalam Hal ini berlaku bagi para ulama yang belum mampu berijtihad dalam permasalahan tertentu, atau dalam permasalahan yang bukan bidangnya, untuk bertaqlid kepada para ulama yang lainnya, seperti dalam ilmu hadits atau ilmu faraa-idh atau yang lainnya.
3. Wajib
Dalam hal itu berlaku bagi orang – orang awam yang tidka memiliki illmu, bagi mereka ini di wajibkan untuk bertanya kepada ahli ilmu.
Dimana Allah berfirman:
...فسئلوا أهل الذّكر إن كنتم لا تعلمون
“Maka betanyalah kepada ahli dzikr ( ulama yang memahami al-Qur’an dan sunnah) bila kamu tidak mengetahui”. (QS. An- Nahl:43 )
Orang yang Taqlid Buta berarti dia telah menyembah Orang yang di taqlid olehnya tersebut.
Sebagimana Hadits beriku:
Dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu, ia berkata:
“ Bahwasanya ia pernah datang kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam dan di lehernya ada ( kalung ) salibn maka beliau berkata kepadaku : ‘ Wahai ‘Adi, buanglah patung ini ( maksudnya kalung salib itu ) dari lehermu!’ Lalu ia mendengar Nabi shalallahu alaihi wa sallam membacakan Firman Alla Ta’ala :
اتّخذواْ أحبا رهمْ ورهْبنهمْ أرْبا بل مّن دوْن الله
“ Mereka ( orang-orang kristen itu) menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib ( ahli ibadah) mereka sebagai tuhan-tuahan ( sesembahan ) selain Allah.( QS.at- Taubah : 31 )
Aku ( ‘Adi bin Hatim) berkata kepada beliau: “ sesungguhnya kami tidak menyembah mereka”. Kemudian Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
أما إنّهمْ لمْ يكونوا يعبدونهمْ ولكنّهمْ كا نواإذا أحلّوالهمْ شيْئا
Betul, merek tidak langsung meyembah para alim dan rahib mereka, tetapi bukankah bila para alim dan rahib itu menghalalkan ( apa yang Allah haramkan, maka mereka juga menghalalkannya, dan bila para alim dan rahib itu mengharamkan apa yang Allah meghalalkan, mereka juga ikut mengharamkannya)?
Maka aku ( ‘Adi bin Hatim jawab: “ ( kalau itu yang di maksud ) maka benar adanya”. Kemudian ( Nabi shalallahu alaihi wa sallam ) bersabda:
(( فتلك عبادتهم))
Itulah bentuk ibadah mereka ( kepada para alim dan rahib mereka itu)””[2]
Fanatisme Madzhab
Pengertian;
Ialah orang yang mana bila disampaikan kepada mereka hadits shahih dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang menetapkan suatu masalah justru mereka mengatakan :” Bahwa hal itu tidak sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh kiyai atau ustadz atau yang telah di tetapakan dalam madzhab imam syafi’i rahimahullah” ?! Padahal imam syafi’i sendiri tidak pernah mengajarkan hal yang demikian itu.
Allah menetapka ketaatan mutlak hanya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, sebagaiman firman Allah, berikut:
فلا وربّك يؤْ منون حتّى يحكّموْك فيْما شجر بيْنهم ثمّ لا يجدواْ فى أنْفسهمْ حرجا مّمّا قضيْت ويسلّمواْ تسليْما
“Maka demi Tuhanmu, mereka ( pada hakekatnya ) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu ( yakni Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An Nisa: 65 )
Imam Abul Qasim al Lalakaa-i meriwayatkan di dalam kitabnya Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah ( I: 138 ) bahwa Ibnu Mas’ud mengatakan:
ألا لا يقلّدنّ أحدكمْ ديْنه رجلا، إن آمن؛ آمن، وإنْ كفر؛ كفر، فإنْ كنْتمْ لابدّ مقْتديْن؛ فبالميّت، فأنّ الْحيّ لا يؤمن عليْه الْفتْنة
“Ketahuilah, janganlah sekali-kali kamu betaqlid kepada seseorang dalam menjalankan agamanya, kalau orang yang diikutinya ( taqlid ) itu beriman, maka dia ikut beriman, dan sebaliknya kalau orang yang diikutinya itu kafir, maka dia ikut kafir. Kalau kamu harus mengikuti seseorang dalam menjalankan agama, maka ikutilah orang yang telah wafat, karena mereka yang masih hidup tidak aman dari fitnah".
Imam Asy-Syafi’I mengecam siapa saja yang mempertentangkan perkataan ( Hadits ) Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dengan perkataan /pendapat seseorang
Imam al-Hakim, telah meriwayatkan di dalam kitabnya Tarikh Naisabur, bahwa imam Asy-Syafi’I menyatakan kepada seseorang yang mempertentangkan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dengan perkataan para ulama:
Aku berkata kepadamu bahwa Rasululllah shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda demikian, tapi kamu justru berkata : Imam ‘Atha telah berkata demikian, Thawus telah berkata demikian, Manshur telah berkata demikian, dan Ibrahim ( An Nakha-‘I ) telah berkata demikian, dan Hasan ( al Bashri ) telah berkata demikian. Padahal para imam itu tidak memolehkan sama sekali untuk mempertentangkan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dengan perkataan mereka, apakah ada seorang manusia yang perkataannya dapat di pertentengkan dengan perkataan Rasullullah shalallahu alaihi wa sallam ?? [3]
Imam Syfi’I rahimahullah juga menyatakan dalam kitabnya Al Umm ( II: 248 )
وإذا شبت الخبر عن النبي صلى الله عليه و سلم، لم يجز تر كه لشيء
“Apabila telah shahih hadits dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam, maka tidak boleh untuk di tinggalkan karena sebab apapun juga”.
Telah di sebutkan juga dalam sebagian sumber bahwa imam syafi’i rahimahullah menyatakan :
من قلد معينا في تحريم شيء أو تحليله ، وقد شبت الحديث على خلافه، ومنعه التقليد عن العمل با لسنّة، فقداتّخد من قلّده ربّامن دون الله تعالى ، يحلل له ما حرّم الله، ويحرّم عليه ما أحل الله
“Barangsiapa yang bertaqlid kepada orang-orang tertentu dalam mengaharamkan atau mengahalalkan sesuatu, sedangkan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bertentangan denganya, akan tetapi dia tetap bertaqlid kepada orang tersebut dan tidak mau untuk mengamalkan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, maka berarti ia telah menjadikan orang yang ia taqlidnya itu sebagai tuhan tandingan selain Allah, yang menghalakan untuknya apa-apa yang di haramkan Allah, dan sebaliknya mengaramkan apa-apa yang di halalkan Allah subhanahu wa ta’ala”.[4]
Pernyataan imam Asy-Syafi’i diatas sudah seharusnya menjadi pembelajaran yang berharga bagi para tokoh agama, kyai, ustadz, ajengan ataupun yang lainnya yang telah mengetahui kebenaran ajaran Rasululllah shalallahu alaihii wa sallam. Tetapi dia enggan untuk mengikutinya karena khawatir di tinggalkan oleh jama’ahnya, atau dikucilkan oleh masyarakat atau hilang ketenaran dan popularitasnya. Dan yang seperti ini banyak terjadi di masyarakat kita, nas-alullahas Salaamah wal ‘afiyah, mudah mudahan Allah memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita semua.
Imam Asy- Syafi’i melarang mengikuti pendapat beliau yang bertentangan dengan hadits shahih ( taqlid buta)
Imam ibnu Abi Hatim ar Razi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Adab Syafi’i wa Manaqibuhu hal. 67-68 & 93. Bahwa imam Syafi’i pernah mengatakan:
كلّ ما قلت: وكان عن النّبي صلى الله عليه و سلم خلا ف قو لي ممّا يصعّ، فحديث النّبي صلى الله عليه و سلم أو لى ولا تقلّد وني
“ Setiap apa yang telah aku ucapkan, padahal telah datang dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam hadits shahih yang bertentangan dengan ucapanku itu, maka mengambil hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang shahih itulah yang utama, dan janganlah kamu brtaqlid kepadaku”[5]
Imam Baihaqi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Manaaqib Syafi’i ( I: 473 ) bahwa imam syafi’i rahimahullah juga mengatakan kepada seorang muridnya imam Rabi’ bin Sulaiman al- Muradi:
كلّ مسأ لة تكلّمت فيها صعّ الخبر فيها عن النّبي صلى االله عليه و سلم عند أهل النّقل بخلاف ما قلت، فأ نا را جع عنها في حيا تي وبعد موتي
“ Setiap masalah yang telah aku ucapkan, padahal telah shahih hadits dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menurut para ulama hadits yang bertentangan dengan apa yang telah aku ucapkan itu, maka aku akan selalu rujuk ( kembali ) dari pendapatku yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shalallau alaihi wa sallam itu, baik saat aku masih hidup maupun setelah aku mati”.[6]
Imam al-Khathib al- Baghdadi pernah meriwayatkkan di dalam kiitabnya al Faqih Mutafaqqih ( I: 150 ), Bahwa imam syafi’i rahimahullah berkata:
إذا وجدتم في كتا بي خلا ف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت ( وفي رواية : فاتبعو ها ، ولا تاتفوا إلى أحد )
“ Apabila kamu mendapi di dalam kitabku ( pernyataan ) yang bertentngan dengan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, maka ambilah sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam itu, dan tinggalkanlah pernyataanku/pendapatku. ( Dalam salah satu riwayat si sebutkan : Ikutilah sunnah Rasullullah shalallahu alaihii wa sallam tersebut, dan janganlah kamu menghiraukan ( pernyataan) seorang pun ( yang bertentangan dengan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam).[7]
Imam Ibnu Hibban telah meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya ( IX: 235 ) no. 2159, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan:
إذا صحّ لكم الحديث عن رسو ل الله صلى الله عليه و سلم فخذوا به ود عوا قولي
“Apabila telah shahih sebuah hadits dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menurut pendapat mu, maka ambillah hadits shahih tersebut, kemudian tinggalkanlah apa yang telah menjadi pendapatku ( yang jelas bertentangan dengan hadits shahih tersebut “.[8]
Asy- Syahrastani seorang pe,besar ulama Syafi’iyyah telah menyebutkan di dalam kitabnya al Milal wan Nihal ( I: 244 ) bahwa imam syafi’i rahimahullah pernah berkata:
إذا وجدتم لي مذ هبا، ووجدتم خبرا على خلاف مذ هبي، فا علموا أن مذ هبي ذلك الخبر
“Apabila kamu mendapati sariku sebuah madzhab ( pendapat ), sedangkan kamu mendapati sebua hadits ( shahih ) yang mennyelisihi pendaptku itu. Makan ketahuilah bahwasanya madzhabku ( yang sebenarnya adalah kendungan) hadits ( shahih ) tersebut".
Imam Abu Abdillah al- Hakim pengarang kitab al-Mustadrak meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada imam Rabi’, bahwa ia berkata : saya pernah mendengar Imam Syafi’i mengatakan:
ما من أحد إلاّوتذهب عليه سنة لرسول اlلله صلى الله عليه وسلم وتعزب عنه فمهما قلت من قول أو أصلت من أصل، فيه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم خلاف ما لت، فا لقو ل ما قل رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو قولي
“Tidak ada seorangpun melainkan ia pernah menyelisihi sunnah Rasulullah shalallahu alahi wa sallam, dan menyimpang jauh darinya. Maka apa pun yang pernah aku nyatakan atau pokok ( ushul ) apa pun yang telah aku letakkan, padahal di sisi lain telah datang dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam keterangan yang bertentangan dengan apa yang tela aku nyatakan itu ( atau dengan pokok yang telah aku letkkan itu ), maka yang harus diambil adalah apa yang telah di sabdakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam karena pada hakekatnya apa yang menjadi ketetapan Rasulullah shalallahu alaiihi wa sallam itulah pendapatku( yang sebenarnya)".
Imam syafi’i rahimahullah juga pernah mengatakan:
أجمع المسلمون على أن من استبان له سنّة عن رسو ل الله صلى الله عليه وسلم ، لم يحلّ له أنيد عها لقو ل أحد
“Kaum muslimin telah ijma’ (sepakat ) bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, maka haram baginya untuk meninggalkan sunnah yang telah jelas di hadapannya itu hanya lantaran pernyaan seseorang saja.[9]
Imam Baihaqi telah meriwayatkan didalam kitabnya Manaqib Syafi’i ( I: 485 ), bahwa imam syaf’i pernah mengatakan:
منْ تبع سنّة رسول الله صلى الله عليه وسلم وا فقته، ومنْ غلط، فتر كها، خا لفته، صا حبي الّذي لا أفا رقه، اللاّز م الشا بت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وإنْ بعد، والّذي أفا رق لم يقبل سنّة رسو ل الله صلى الله عليه و سلم وإن قرب
“Siapa saja yang mengikuti Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, maka aku akan menyetujuinya dan bersepakat dengannya, sedangkan orang yang meninggalkan sunnah Rasulullah shalalllahu alaihi wa sallam, maka aku akan menyelisihinya dan tidak akan bersepakat dengannya. Adapun teman yang tidak aku tinggalkan adalah orang yang selalu berpegang/komitmen dengan hadits Rasulullah shalallahu alahi wa sallam yang shahih walaupun ia berada jauh dariku. Sedangkan mereka yang aku tinggalkan dan pisahkan dariku adalah orang yang tidak menerima sunnah Rasulullahu alaihi wa sallam, walaupun ia berada dekat denganku".
Imam Baihaqi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Manaqib Syafi’i ( I: 472), bahwa imam syafi’i rahiimahullah mengatakan kepada seorang muridnya yang bernama : Rabi’ bin Sulaiman:
قدْ أعْطيْتك جمْلة تغْنيْك إنْ شاء الله: لا تدْعْلرسوْل الله صلى اللله عليْه وسلّم حديْشا أبدا، إلاّ أن تأْ تي عنْرسوْل الله صلى الله عليْه وسلّم خلافه
“Aku telah memberikan kepadamu sebuah kalimat, yang cukup untukmu Insya Allah, ( isi kalimat itu adalah ) jangan sekali-kali kamu meninggalkkan satupun hadits Raululullahu alaiihi wa sallam, keculai bila kamu mendapati hadits beliau lainnya yang menyelisihi hadits tersebut".
Al Hafidz adz Dzahabi telah menyebutkan di dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala ( X:35), Bahwa Imam syafi’i rahimahullah pernah berkata:
إذا صحّ الحديث، فهو مذْهبي، واضر بوا بقو ليْ الحا ئط
“Apabila telah shahih sebuah hadits, maka itulah madzhabku, ( yang sebenarnya), dan buanglah perkataanku ( yang menyelisihi hadits shahih tersebut) kearah tembok".
Dari sini kita dapat mengatakan bahwa ; madzhab imam Syafi’i rahimhullah adalah apa yang terkandung di dalam hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang shahih.
Imam Syafi’i rahimahullah tidak permah menginginkan dengan sengaja untuk menyelisihi satupun kandungan hadits yang shahih.
Itu berarti, tidak diperbolehkan bagii seseorangpun untuk menyandarkan kepada madzhab imam syafi’i pernyataan yang menyelisihi hadits yang shahih.
Hal ini telah di jelaskan dalam pernyataan di atas secara jelas oleh para pembesar ulama Syafi’iyyah, bahkan sebagian dari mereka sampai mengaatakn: apabila ada satu masaalah yang dinyatakan oleh imam Syafi’i pdahal pernyataan itu bertentangan dengan kandungan hadits yang shahih, maka buanglah pernyataan itu kearah tembok dan ambillah apa yang terkandung di dalam hadits shahih tersebut.
Jadi, Dapat di pastikan bahwa pernyataan yang menyelisihi kandungan hadits shahih tersebut tidak termasuk dari pendapat madzhab imam syafi’i, dan inilah sikap yang benar secara pasti.
Bila ada pertanyaan: Bagaimana bila Imam syafi’i rahimahullah tidak memiliki pendapat dalam duatu masalah?
Apabila imam syafi’i tidak memiliki pendapat dalam suatu masalah, maka yang menjadi madzhab beiau adalah apa yang terkandung dalam hadits yang shahih. Maka bagaimana halanya bila imam syafi’i telah jelas-jelas berpendapat dengan pendapat yang sesuai dengan hadits shahih, dan pendapat itu telah beliau sebutkan secara jelas si sebagian kitabnya atau fatawanya? Maka jelaslah hal ini lebih lagi untuk dikatakan sebagai madzhab imam syafii rahimahullah.[10]
Karena Imam Syafi’I rahimahullah dengan tegas telah menyatakan:
إذا صحّ الحديْث،فهو مذْهبيْ
“ Apabila telah shahih sebuah hadits, maka itulah madzhabku “
Syaikh asy Sya’rani di dalam kitabnya al Mizanul Kubra ( I: 567) telah menukil ucapan Imam Ibnu Hazm yang telah memberiakan komentar atas pernyataan emas dari Imam Syafi’i di atas dengan mengatakan:
“ Maksudnya; baik hadits itu shahih menurut pendappat imam Syafi’i sendiri maupun shahih menurut pendapat ulama hadits yang lainnya” [11]
Ada sebuah pertanyaan yang mungkin akan terbesit di benak kita, yakni: “ Apabila kita tidak mendapati seorang ulamapun yang mengamalkan hadits shahih tersebut, maka apa yang harus kita lakukan, apakah kita harus tetap mengamalkannya walaupun kita tidak mendapati seorang pun dari ulama yang mengamalkannya, atau justru kita harus meninggalkan hadits shahih tersebut”??
Imam Taqiyyuddin as Subki ( w.756 H ) telah mengemukakan jawaban dari permasalahan tersebut, dimana ia mengatakan di dalam kitabnya Ma’na Qaulisy Syafi’i Idza Shahhal Haditsu Fahuwa Madzhabi hal. 102 –Majmu’atur Rasaa-ilil Muniriyyah;
“yang lebih utama menurutku adalah kita tetap mengikuti hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tersebt, keadaannya seperti seorang yang sedang berada di hadapan Nabi shalallahu alaihi wa sallam, kemudian ia mendengar hadits tersebut langsung dari lisan beliau, maka bolehkah orang itu mengakhirkan diri dari mengamalkan sabda beliau tersebut atau tidak? Jawabannya pasti- Demi Allah; Tidak boleh, sebab setiap kita di wajibkan untuk beramal berdasarkan apa yang telah kita fahami dari dalil-dalil Agama” [12 ]
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita ketetapan yang menjadi madzhab Imam Syafi’i rahimahullah di dalam menetapkan kewajiban mengikuti sunnah dan melarang dari sikap fanatik madzhab dan taqlid buta.
Wallahua’lam
Di nukil dari kitab; wasiat dan prinsip Imam Syafi’i tentang Taqlid Buta & Fanatisme Madzhab,karangan Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa hafidzahullah
Footnote:
1. Muttaq’alaihi: Bukhari no. 2676 & muslim no.1716
2. Diriwayatkan oleh Ath Thabari dalam kitab tafsirnya ( X: 417-418), Baihaqi dalam kitab Sunanul Kubra ( X: 116 ) dan al Madkhal hal.209 no.261. al Mizzi dalam kita Tahdzibul Kamal ( 23: 119 ) dan sanadnya Dha’if, akan tetapi dengan adanya beberapa penguat ( syawaid ) dari hadits Hudzaifah secara mauquf dan hadits Abul ‘Aliyah ( seorang tabi’in ), maka hadits ini dapat naek menjadi hasan, dan hadits ini pun telah di hasankan oleh syaikhul islam Ibn Taimiyyah di dalam kitabnya al Iman hal. 64
3. Mu’jam Udaba’ ( 17: 295-296) oleh Yaqut al Hamawi dan juga telah disebutkan oleh DR. Ahmad Nahrawi dalam kitabnya al-Imam asy-Syafi’I fi Madzhabaihil Qadim wal Jai dhal.180
4. pernyataan ini telah di cantumkan Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim di dalam muqaddimah kitabnya Shahih Fiqhis Sunnah ( I: 45 ) yang telah menukilnya dari kitab Hadyatus Sulthan Ila Muslimi Biladil Yaban hal.69 karya Al- Mu’shumi, tahqiq : Syaikh salim bin ‘Ied al-Hilali
5. Diriwayatkan pula oleh : Ibn ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqa (51 : 386 ), Baihaqi dalam Manaaqib Syafi’i ( I: 473 ), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ ( IX: 106-107 ). Lihat pula : Siyar A’lamin Nubala ( X: 33)
6. Lihat pula dalam kitab Tawalit Ta’sis hal. 93 oleh al- Hafidz Ibn Hajat al Asqalani, sebagaiman yang telah di katakan oleh DR.Muhammad bin Abdul Wahhab al’aqil dalam kitabnya Manhaj Imam Syafi’i ( I: 97)
7. Diriwayatkan pula oleh: Baihaqi di dalam Manaqib syafi’i ( I:472, 474 ) dan dalam al madkhal Ilas Sunnah hal. 205 no.249, ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqa ( 51 : 386 ). Dan Nawawi memastikan akan keshalihannya di dalam kitab Majmu’ syarah Muhadzdzab ( I: 63 ). Sedangkan tambahan roiwaya itu dari Hiyatull Auliya’ ( IX : 106-107 ) Dan Shahih Ibn Hibban ( II : 284-al Ihsan). Lihat pula : Safatush Shafwah ( II:170 )
8.lihat pula : Al Bidayah wan Nihayah ( X: 276 )
9.I’lamul Muwaqqi’in ( I:7 )
10.I’lamul Muwaqqi’in (IV: 291 ) oleh syaikhul Islam Ibu Qayyim al- Jauziyyah)
11.Shifat Shalat Nabi, hal. 50
12.Majmu’atur Rasa-il al Munarrriyyah ( III: 98-114 ), dan lihat nukilannya di dalam kitab Shifat Shalat Nabi shalallahu alaihi wa sallam hal. 49-52
Penulis; Ahmad Ibnu ( Ahmad Al- Faqir)
Kota Tapis Berseri; Kotaagung, Lampung
0 komentar:
Posting Komentar
“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]