24 Juli 2014

Fiqih I'tikaf

PENJELASAN TENTANG I'TIKAF


Definisi I'tikaf

I'tikaf menurut bahasa artinya: menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu itu berupa kebaikan atau kejahatan.

I'tikaf menurut istilah Syara' ialah: seseorang tinggal atau menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan sifat atau cara tertentu.1

Hukum  I'tikaf

Hukum i'tikaf ada dua macam, yaitu: Sunnah dan Wajib.

I'tikaf Sunnah ialah i'tikaf yang dilakukan oleh seseorang di sepanjang tahun secara sukarela dengan tujuan menddkatkan diri kepada Allah dan mengharap pahala dari-Nya serta mengikuti Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.

I'tikaf Sunnah ini sangat di tekankan. Dan i'tikaf Sunnah ini tidak boleh di tetapkan 1hari atau 3hari secara rutin, kecuali yang ditetapkan syari'at.
I'tikaf yang paling utama adalah yang dilakukan pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam pada setiap bulan Ramadhan sampai beliau shalallahu 'alaihi wa sallam wafat.

I'tikaf yang wajib ialah i'tikaf yang diwajibkan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri, terkadang dengan sebab Nadzar mutlak, misalnya ia mengatakan, "wajib bagi saya i'tikaf karena Allah selama sehari semalam." Atau dengan Nadzar bersyarat, misalnya ia mengatakan, "jika Allah menyembuhkan penyakit saya, maka saya akan i'tikaf dua hari dua malam."

Nadzar ini wajib dilaksanakan.

Dalam sebuah hadits dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam,

من نذرأن يطيع الله فليطعه، ومن نذر أن يعصيه فلا يعصه

"Barangsiapa bernadzar akan melakukan sesuatu ketaatan kepada Allah, hendaklah ia penuhi nadzarnya itu, dan barangsiapa bernadzar untuk melakukan kemaksiatan (kedurhakaan/kesyirikan) kepada Allah, maka jangan lakukan maksiat itu."2

Waktu I'tikaf

I'tikaf yang wajib dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinadzarkan dan diikrarkan seseorang. Jika ia bernadzar akan beri'tikaf satu hari atau lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkannya itu.

Adapun i'tikaf yang sunnah, waktunya tidak terbatas. Imam asy-Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan kebanyakan Ahli Fiqih rahimahullah berpendapat bahwa i'tikaf yang sunnah tidak ada batasnya.3

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata,"seseorang boleh beri'tilaf (di waktu) siang saja atau malam saja. Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi'i dan Abu Sulaiman."4

Syarat-Syarat I'tikaf

Syarat-syarat bagi orang yang  i'tikaf ialah:

1. Islam

Maka tidak sah i'tikaf yang dilakukan orang kafir yang asli atau kafir karena murtad, berdasarkan firman Allah Ta'ala,

وما منعهم أن تقبل منهم نفقتهم إلآ أنهم كفروابالله وبرسوله.......

"Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul'Nya..."(QS. At-Taubah:54)

Apabila infak (yang manfaatnya bisa dirasakan orang lain) tidak diterima dari orang kafir dengan sebab kekafirannya, maka ibadah-ibadah yang semata dilakukan oleh badan (untuk diri sendiri) lebih layak lagi tidak diterima dari orang kafir.5

Allah Ta'ala berfirman tentang orang-orang kafir dan amalan mereka,

وقد منآ إلى ما عملوا من عمل فجعلنه هبآء منثورا

"Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan."(al-Furqaan: 23)

Selain itu, sesungguhnya orang kafir bukanlah orang yang berhak masuk masjid. Syarat Islam ini berdasarkan kesepakan para ulama.6

2. Berakal

Maka tidak sah i'tikaf yang dilakukan oleh orang gila, orang yang sedang mabuk, dan orang yang pingsan, berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam,

إنما الإعمال بالنيات.....

"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya...."

Niat dan kesengajaan dari orang yang tidak berakal tidak bisa dianggap (diperhitungkan) dan karena mereka bukanlah orang yang ahli ibadah. Syarat berakal ini berdasarkan kesepakatan imam-imam Ahli Fiqih.7

3. Tamyiz.

Maka tidak sah i'tikaf yang dilakukan orang yang belum mumayyiz, berdasarkan dalil syarat kedua. Syarat tamyiz ini berdasarkann kesepakatan imam-imam ahli fiqih.8

4. Suci dari janabat, haidh, dan nifas

Allah Ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا..

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi...."(an-Nisaa': 43)

Sisi pendalilannya ialah bahwa Allah Ta'al melarang orang yang sedang junub untuk mendekati tempat shalat yaitu masjid. Apabila hukum ini berlaku bagi orang yang sedang junub maka berlaku pula bagi wanita haidh. 9

Rukun-Rukun I'tikaf

Rukun-rukun i'tikaf ialah:

1. Niat,

Karena tidak sah suatu amalan kecuali dengan niat. Dan niat tempatnya di hati, tidak dilafadzkan.
Sebab, berdiam diri di masjid terkadang ada yang diniatkan untuk i'tikaf dan terkadang juga ada yang dimaksudkan untuk selain itu, maka dibutuhkan adanya niat untuk membedakan antara keduanya.

Apabila i'tikaf yang yang dilakukan adalah i'tikaf yang wajib maka diniatkan melakukan i'tikaf yang wajib karena i'tikaf hukumnya ada yang wajib dan ada yang sunnah sehingga harus ada niat untuk membedakannya. Ini berdasarkan kesepakatan para imam Ahli Fiqih. 10

2. Harus di masjid

Hakikat i'tikaf ialah tinggal di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

.....ولا تبشروهن وأنتم عكفون فى المسجد....

"....tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri'tikaf di dalam masjid...." (al-baqarah: 187)

Jadi, i'tikaf itu hanya sah di lakukan di masjid.

Masjid Yang Sah Dipakai I'tikaf

Para fuqaha'(ulama fiqih) berbeda pendapat mengenai masjid yang sah dipakai untuk i'tikaf. Dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu:

1. Sebagian ulama berpendapat bahwasanya i'tikaf itu hanya dilakukan di tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Ini adalah pendapat Sa'id bin al-Musayyib rahimahullah.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,"Aku kira riwayat yang dinukil bahwa beliau berpendapat demikian tidak sah."11

2. Imam Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa i'tikaf itu sah dilakukan di setiap masjid yang dilaksanakan sholat lima waktu dan didirikan jama'ah.12

3. Imam Malik, Imam asy-Syafi'i, dan Abu Dawud berpendapat bahwa i'tikaf sah dilakukan pada setiap masjid karena tidak ada keterangan yang sah yang menegaskan terbatasnya masjid sebagai tempat untuk melaksanakan  i'tikaf.

Setelah membawakan beberapa pendapat tersebut, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "I'tikaf sah dilakukan di setiap masjid dan tidak boleh dikhususkan di masjid manapun juga kecuali dengan dalil, sedangkan dalam hal ini tidak ada dalil yang jelas yang mengkhususkannya. 13

Hal ini berdasarkan dalil dari firman Allah Ta'ala,

.....ولا تبشروهن وأنتم عكفون فى المسجد....

"....tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri'tikaf di dalam masjid...." (al-baqarah: 187)

Ayat ini membolehkan i'tikaf di semua masjid berdasarkan keumuman lafadznya.
Karena itu, siapa saja yang mengkhususkan makna dari ayat tersebut, mereka harus membawakan dalil, demikian juga yang mengkhususkan masjid-masjid jami' saja tidak ada dalilnya, sebagaimana halnya pendapat yang menglhususkan hanya tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha). Karena pendapat yang mengkhusukan tidak ada dalilnya, maka gugurlah pendapat tersebut.14


Wanita Yang i'tikaf

Menurut jumhur Ulama,  tidak sah seorang wanita beri'tikaf di masjid rumahnya sendiri karena masjid dalam rumah tidak bisa dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang sudah sah menerangkan bahwa para istri Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam melakukan i'tikat di Masjid Nabawi. 15

Wanita yang beri'tikaf dibmasjid harus membuat kemah tersendiri dan terpisah dari laki-laki. Agar tidak saling pandang dengan laki-laki apalagi sampai ikhtilath.

Wanita yang i'tikaf di masjid harus mendapat izin suaminya.

Berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam,

"Tidak boleh seorang wanita puasa(sunnat) sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan izinya. Tidak boleh ia menginkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan apabila ia menginfakkan harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya adalah untuk suaminya."(Bukhari, Muslim dan lainnya).

Demikian pula dengan i'tikaf, seorang istri harus meminta izin kepada suaminya.

Apabila seorang wanita beri'tikaf tanpa seizin suami maka i'tikafnya tidak sah tetapi haram, karena larangan itu tidak kembali pada dzat ibadah itu sendiri tetapi kembali kepada perkara yang ada diluarnya yaitu menyia-nyiakan hak suami.16

Waktu Memulai dan Mengakhiri I'tikaf

Seseorang yang berniat i'tilaf pada sepuluh hari terakhur Ramadhan maka hendaklah ia memulai memasuki masjid sebelum matahari terbenam malam ke 21.

Pendapat ini merupakan pendapat dari Imam Malik, Imam Hanafi, Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. 17
Dalil mereka adalah riwayat tentang i'tikafnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam di awal Ramadhan, pertengahan, dan akhir Ramadhan.

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من كان اعتكف معي فليعتكف العشر الأواخر....

"Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang beri'tikaf bersamaku, hendaklah ia melakukannya pada sepuluh malam terakhir(di bulan Ramadhan)..."18

Maksud ''sepuluh terakhir'' adalah nama bilangan malam, dan bermula pada malam kedua puluh satu (karena pergantian hari hijaiyah adalah waktu masuknya maghrib) atau malam kedua puluh.19

عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا أرادأن يعتكف صلى الفجر ثم دخل معتكفه

Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, ai berkata, "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak i'tikaf, beliau shalat shubuh kemudian masuk ke tempat i'tikaf."20

Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa permulaan dari waktu i'tikaf itu adalah di permulaan siang. Ini menurut pendapat Al-Auza'i, al-Laits, dan ats-Tsauri.21

Maksud dari hadits 'Aisyah di atas ialah bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam masuk ke tempat yang sudah disediakan untuk i'tikaf di masjid setelah beliau selesai mengerjakan shalat Shubuh. Jadi, bukan masuk masjid ba'da shibuh.

Adapun masuk masjid untuk i'tikaf tetap di awal malam sebelum terbenamnya matahari. Wallaahu a'lam bish shawaab

Mengenai waktu keluarnya dari Masjid setelah selesai menjalankan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, menurut imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi'i rahimahumullah waktunya adalah sesudah matahari terbenam (di akhir Ramadhan).

Sedang menurut Imam Ahmad rahimahullah, ia disunnahkan untuk tinggal di masjid sampai waktu shalat 'Ied.  Akan tetapi menurut mereka boleh pula keluar dari masjid setelah terbenam mtahari. 22

Pembatal I'tikaf

1. Sengaja keluar dari masjid tanpa ada keperluan walaupun hanya sebentar.
2. Murtad
3. Hilang akal disebabkan gila atau mabuk
4. Haidh
5. Nifas
6. Bersetubuh

Berdasarkan firman Allah Ta'ala,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa."(al-Baqarah:187)

Menurut pendapat Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma: "Apabila seseorang mu'takif(yang i'tikaf) bersetubuh, maka batal i'tikafnya dan ia mulai dari awal lagi." 23

7. Memutus niat i'tikaf tanpa bertekad keluar darinya atau ragu-ragu untuk memutusnya.

I'tikaf seorang bisa batal karena adanya niat memutuskan i'tikafnya. Sebab, niat sebagaimana rukun dari i'tikaf. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam,

"Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya..."(Bukhari,Muslim dan selainnya)

8. Meninggal dunia

Hal-Hal Yang Boleh Dilakukan Ketika I'tikaf

1. I'tikafnya seorang wanita dan kunjungannya kepada suaminya yang beri'tikaf di dalam masjid.

Diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang beri'tikaf. Dan suaminya yang sedang beri'tikaf diperbolehkan untuk mengantarkannya sampai pintu(ketika istrinya pulang).

2. Menyisir  rambut, berpangkas, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, merapikan kumis, membersihkan tubuh, memakai pakaian terbaik, dan memakai wewangian.

3. Keluar untuk suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.

Imam Ibnul Mundzir rahimahullah,"Para ulama sepakat, bahwa orang yang i'tikaf boleh keluar dari masjid (tempat i'tikaf) untuk keperluan buang air besar atau kecil, karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan,(apabila tidak ada kamar mandi/WC di masjid-pent). Dalam hal ini, sama hukumnya dengan kebutuhan makan minum bila tidak ada yang mengantanya, maka boleh ia keluar(sekedarnya)." 24

4. Makan dan minum di dalam masjid
5. Mengambil tempat tertentu dalam masjid sebagai tempat i'tikaf

"Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata," Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak i'tikaf, beliau shalat shubuh kemuadian masuk ketempat I'tikaf."25



Sumber:
I'tikaf berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah yang Shahih. Ustdz. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Penerbit: Pustaka At-Taqwa

Diringkas oleh:
Ahmad Abdullah
Di masjid Daarul 'Ilmi, Pondok Bambu, Jakarta Timur


Catatan:

1. Lihat fat-hul baari (IV/271), Syarah Muslim (VIII/66), Mufradaat Alfaazhil Qur-an (hal. 579) ar-Raghib al-Ashfani, Muhalla (V/179)
2. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6696, 6700), Ahmad (VI/36, 41, 224), Abu Dawud (no. 3289), at-Tirmidzi (no. 1526), an-Nasa'i (VII/17), Ibnu Majah (no. 2126), ad-Darimi (II/184), al-Baihaqi (IX/231, X/68, 75), Ibnu Jarud (no. 934).
3. Lihat Bidayatul Mujtahid (III/239), cet. Darul kutub al-'ilmiyyah
4. Baca al-Muhalla (V/179-180, masalah no. 624).
5. Lihat asy-Syarhul Mumti' (II/9)
6. Lihat Fiqhul I'tikaaf (hal. 68-69)
7. Lihat Fiqhul I'tikaaf (hal. 69)
8. Lihat Fiqhul I'tikaaf (hal. 69-70)
9. Lihat Fiqhul I'tikaaf (hal. 72)
10. Lihat Fiqhul I'tikaaf (hal.70) dan kitab-kitab lainnya.
11. Lihat al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab (VI/483).
12. Idem
13. Idem
14. Lihat al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan karya Imam Al-Qurthubi (II/222), Ahkaamul Qur-aan al-Jashshash (I/285), Majmuu' Fataawaa Syaikh bin Baaz, dan Majmuu' Fatawaa Syaikh 'Utsaimin.
15. Lihat Fiqhus Sunnah (I/402)
16. Lihat Fiqhul I'tikaaf (hal. 89-90)
17. Lihat Syarah Muslim (VIII/68), al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab (VI/492), Fat-hul Baari (IV/277), al-Mughni (IV/292-293), dan Bidaayatul Mujtahid (III/240).
18. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2027)
19. Lihat Fiqhus Sunnah (I/403)
20. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2033) dan Muslim (no. 1173)
21. Lihat Nailul Authar (V/571), cet. Daar Ibnil Qayyim
22. Lihat Bidaayatul Mujtahid (III/241), al-Mughni (IV/293-294)
23. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 9768, 12574) dan 'Abdurraaq (no. 8081), dengan sanad yang shahih. Lihat Qiyamur Ramadhan (hal. 41) oleh Imam al-Albani rahimahullah.
24. Lihat Fiqhus Sunnah (I/405)
25. Shahih: al-Bukhari (no. 2033), dan Muslim(no. 1173)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Fiqih I'tikaf

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter