18 Mei 2013

Taqlid Antara Fanatik dan Ittiba'

بســــــــــــــم الله الرحمن الرحيـــــــــــــــم



Taqlid



Dalam Beragama kita di perintahkan untuk mengikuti dalil dan tidak memperkenankan seorang untuk bertaklid (baca: mengekor/membeo) kecuali dalam keadaan darurat (mendesak), yaitu tatkala seorang tidak mampu mengetahui dan mengenal dalil dengan pasti. Hal ini berlaku dalam seluruh permasalahan agama, baik yang terkait dengan akidah maupun hukum (fikih).


Taqlid adalah:
“Mengikuti perkataan orang yang perkataannya bukan hujjah.”


Taqlid secara bahasa adalah meletakkan kalung ke leher. Dan terkadang kata ini digunakan meng-istilahkan: menyerahkan sesuatu perkara kepada seseorang, seakan-akan perkara tersebut diletakkan di lehernya, seperti kalung. [Lihat Misbahul Munir (hal. 512), Lisanul ‘Arab (III/367), Mudzakkirah Ushul Fiqh (hal. 314), Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 593) dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 296)]

Taqlid menurut istilah adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/173), I’lamul Muwaqqi’in (III/464), Mudzakkirah Ushul Fiqh (hal. 314), Majmu’ Fatawa (XXXV/233), Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 593), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 296)]

Lawannya taqlid adalah ittiba' ( mengikuti) :
ittiba’ (mengikuti) Nabi sholallohu alaihi wa sallam, mengikuti ahlul ijma’, dan mengikuti shahabat jika kita katakan bahwa perkataan shahabat tersebut adalah hujjah, maka mengikuti salah satu dari hal tersebut tidaklah dinamakan taqlid, karena hal ini merupakan ittiba’ kepada hujjah.


Taqlid bisa terjadi pada 2:


1.Muqollid (seorang yang taqlid) adalah orang awam yang tidak mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidlal, pent) dengan kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid. Berdasarkan firman Alloh ta’ala :


فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]

Dan hendaknya ia mengikuti orang (yakni ‘ulama, pent) yang ia dapati lebih utama dalam ilmu dan waro’(kehati-hatian)nya, jika hal ini sama pada dua orang (‘ulama), maka hendaknya ia memilih salah seorang diantara keduanya.

2.Terjadi pada seorang mujtahid suatu kejadian yang ia harus segera memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan penelitian maka ketika itu ia boleh taqlid. Sebagian ‘ulama mensyaratkan untuk bolehnya taqlid : hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam ushuluddin (pokok agama/aqidah, pent) yang wajib bagi seseorang untuk meyakininya; karena masalah aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan taqlid hanya memberi faidah dzonn (persangkaan).

Dan yang rojih (kuat) adalah bahwa yang demikian bukanlah syarat, berdasarkan keumuman firman Alloh subhanahu wa ta’ala :

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]


Ayat ini adalah dalam konteks penetapan kerosulan yang merupakan ushuluddin, dan karena orang awam tidak mampu untuk mengetahui (yakni ber-istimbath dan istidlal, pent) kebenaran dengan dalil-dalinya.Maka jika ia memiliki udzur dalam mengetahui kebenaran, tidaklah tersisa (baginya)kecuali taqlid, berdasarkan firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ


“Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian.” [QS. at-Taghobun : 16]



Larangan dan buruknya bertaqlid



Kesesatan merupakan buah dari taqlidnya seseorang terhadap ajaran nenek moyangnya, keterbatasan akalnya, dan atau hawa nafsunya yang mengajaknya ke dalam kedurhakaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Seorang awam yang taqlid akan mengambil seorang alim sebagai rujukannya. Dan dia menjadikan orang alim tersebut sebagai satu-satunya pedoman dalam menentukan hukum syari’at, padahal orang alim yang diambilnya itu bukanlah seorang yang ma’shum (terpelihara dari dosa). Selain itu, para ulama yang dijadikan pedoman oleh orang-orang yang taqlid tadi, telah berlepas diri dari sikap mereka yang jumud (kaku) dan ta’ashshub (fanatik). Sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah berikut ini,

إِذْ تَبَرَّاَ الَّذِيْنَ اتُّبِعُوْا مِنَ الَّذِيْنَ التَّبَعُوْا وَرَاَوُاالْعَـذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ

Artinya: “Ketika orang-orang yang diikuti (itu) berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus.” (Qs. Al-Baqarah: 166)

Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Para ulama berpendapat dengan (menggunakan) ayat ini (sebagai hujjah) untuk menyalahkan taqlid.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/160)]

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ جَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِـدُوا فِى أَنْفُسِـهِـمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا

Artinya: “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka tunduk dengan ketundukan yang sebenar-benarnya.” (Qs. An-Nisa’: 65)


Allah berfirman :


وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلاَمُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْۗ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّى ضَلَلاً مُّبِيْنًا

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36)

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Ketahuilah, janganlah kalian taqlid kepada seseorang dalam agamanya. Jika orang itu beriman, maka beriman (juga orang yang taqlid padanya). Dan jika orang itu kafir, maka kafir (juga orang yang taqlid padanya). Karena itu, tidak ada teladan dalam hal keburukan.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/168)]


Allah ta’alla mencela taklid dan kaum musyrikin jahiliyah yang mengekor perbuatan nenek moyang mereka tanpa didasari ilmu. Allah ta’alla berfirman:

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

“Mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf: 22).

Allah ta’alla juga berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31).

Ayat ini turun terkait dengan orang-orang Yahudi yang mempertuhankan para ulama dan rahib mereka dalam hal ketaatan dan ketundukan. Hal ini dikarenakan mereka mematuhi ajaran-ajaran ulama dan rahib tersebut dengan membabi buta, walaupun para ulama dan rahib tersebut memerintahkan kemaksiatan dengan mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram [lihat hadits riwayat. At-Tirmidzi no. 3096 dari sahabat 'Ady bin Hatim].


Taklid juga hanya akan menghasilkan zhan (prasangka) semata dan Allah telah melarang untuk mengikuti prasangka. Allah ta’alla berfirman:

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. Al-An’am: 116).

Namun, yang patut diperhatikan adalah zhan yang tercela dalam agama ini adalah praduga yang tidak dilandasi ilmu. Adapun zhan yang berlandaskan pengetahuan, maka ini tergolong sebagai ilmu yang membuahkan keyakinan sebagaimana firman Allah:

الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 46).


Macam-Macam Taqlid 



Di dalam kitabnya ( Lihat I’lamul Muwaqqi’in (III/447 ) Imam lbnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah membagi taqlid menjadi tiga macam, yaitu:


Taqlid yang diharamkan,

Ada tiga jenis taqlid yang diharamkan, yaitu:

1. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga manusia berpaling dari apa yang telah diturunkan Allah. Contohnya: Kaum Jahiliyyah yang taqlid kepada ajaran nenek moyang mereka untuk menyembah berhala. Sebagaimana disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,

وَكَذَ لِكَ مَآ أَرْ سَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَّذِيْرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَ فُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ ۝ قَـلَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْـدَى مِمَّا وَجَدْتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْۖ قَالُوا إِنَّا بِمَآ أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَفِرُونَ

Artinya: “Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.’ Rasul itu berkata, ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu?’ Mereka menjawab, ‘Sungguh kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.” (Qs. Az-Zukhruf: 23-24)

2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia pantas diambil perkataannya ataukah tidak. Contohnya: Taqlidnya seseorang kepada orang lain yang tidak diketahui asal usulnya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبِإٍ فَتَبَـيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوا قَوْمًا بِجَهَلَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَدِمِيْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu dengan membawa berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang nanti akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujurat: 6)

3. Taqlid kepada perkataan seseorang, padahal dia mengetahui adanya hujjah (bukti) dan dalil yang bertentangan dengan pendapat orang tersebut. Contohnya: Taqlid yang dilakukan kaum Yahudi dan Nashara kepada para pendeta dan rahib mereka, sehingga mereka berpaling dari dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,

إِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُـمْ أَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللهِ

Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai rabb selain Allah…” (Qs. At-Taubah: 31)


Taqlid yang diwajibkan,

Taqlid yang diwajibkan adalah taqlid kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Ini bukanlah taqlid dalam arti yang sebenarnya, melainkan dia bermakna kepada ittiba’. Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Karena Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan wahyu dari Rabbul ‘Izzati yang terpelihara, sehingga manusia yang berpegang kepada keduanya tidak akan sesat selama-lamanya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَفِرِيْنَ


Artinya: “Katakanlah (Muhammad): ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, ketahuilah sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” (Qs. Ali ‘Imran: 32)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَلَّفْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِى وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَىَّ الْحَوْضَ .

Artinya: “Aku tinggalkan (untuk kalian) dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendapatiku di Al-Haudh (telaga di Surga).” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al-Hakim (I/93), Al-Baihaqi (X/114) dan Malik (hal. 686), dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu]


Taqlid yang dibolehkan.

Taqlid yang dibolehkan adalah taqlid yang dilakukan oleh seorang awam kepada orang yang lebih ‘alim dan memiliki kemampuan untuk berijtihad, karena orang tersebut tidak mampu untuk melakukan tahqiq (penelitian dalil) dan tarjih (menyimpulkan hukum yang paling dekat kebenarannya dengan dalil) dalam menentukan hukum syari’at. Para ulama bersepakat bahwa seorang awam boleh taqlid kepada ulama yang berjalan di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai perwujudan firman Allah Ta’ala,

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.(Qs. Al-Anbiya’: 7)

Akan tetapi, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan berkaitan dengan dibolehkannya taqlid dalam kondisi semacam ini, antara lain:

1. Seorang yang taqlid adalah seorang yang benar-benar awam terhadap perkara syari’at dan tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui hukum Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Hendaknya orang yang menjadi sasaran taqlid adalah orang yang baik agamanya, dan ilmunya mendalam, serta memiliki kemampuan untuk berijtihad.

3. Orang yang taqlid itu belum mengetahui adanya pendapat lain yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dari pada pendapat yang dia pegangi secara taqlid.

4. Tidak boleh untuk taqlid pada permasalahan yang menyelisihi nash syari’at atau ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

5. Orang yang taqlid tidak boleh mewajibkan dirinya untuk mengambil satu madzhab saja dalam semua perkara syari’at. Hendaknya dia berusaha untuk mencari kebenaran dan berpegang pada pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Meskipun pendapat tesebut ada di berbagai madzhab.

6. Tidak boleh berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab yang lainnya dengan tujuan mencari rukhshah (keringanan) dan mencari kemudahan dalam menjalankan syari’at. Sehingga dia hanya mengambil yang dia anggap paling ringan dan paling sesuai dengan nafsunya.

[Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/170), I’lamul Muwaqqi’in (III/462), Al-Mukhtasharul Hatsits (hal. 197), Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 594-597), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 300-301)]


Perkataan Para imam mazhab Tentang Taqlid


1. Madzhab Hanafi, yang dinisbatkan pada Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau adalah imamnya penduduk Irak, yang lahir pada tahun 80 Hijriyah dan wafat pada tahun 150 Hijriyah. Beliau pernah berkata,

إِذَا قُلْتُ قَوْلاً يُخُالِفُ كِتَابَ اللهِ تَعَالَى وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم، فَاتْرُكُوْا قَوْلِيْ!

Artinya: “Jika aku mengatakan suatu pendapat yang menyelisihi Kitabullah dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku.” [Diriwayatkan oleh Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam (hal. 50). Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 48)]

2. Madzhab Maliki, yang dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Malik bin Anas rahimahullah. Beliau adalah imam Darul Hijrah Madinah, yang lahir pada tahun 93 Hijriyah dan wafat pada tahun 179 Hijriyah. Beliau pernah berkata,

إِنَّمَا أَنَا بَشْرٌ، أُخْطِئُ وَأُصِيْبُ، فَانْظُرُوْا فِي رَأْيِيْ؛ فَـكُلُّ مَا وَافَقَ الْكِتَابَ وَ السُّنَّةَ فَخُذُوْهُ، وَ كُلُّ مَا لَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ!

Artinya: “Sesungguhnya aku hanya seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang sejalan dengan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, maka ambillah. Dan setiap pendapatku yang tidak sejalan (menyelisihi) Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah dia.” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/622), Ibnu Hazm dalam Ushulul Ahkam (VI/149), dan Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam (hal. 72). Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 48)]

3. Madzhab Syafi’i, yang dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau dilahirkan pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah. Beliau pernah berkata,

كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ أَوْلَى، فَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ .

Artinya: “Setiap dari perkataanku, kemudian ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku, maka hadits Nabi (harus) diutamakan. Maka janganlah kalian taqlid kepadaku.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafi’i (hal. 93), Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in (IV/45-46), Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Asakir (XV/9/2) dengan sanad yang shahih. Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 52)]

4. Madzhab Hanbali, yang dinisbatkan kepada Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah. Beliau dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah dan wafat pada tahun 241 Hijriyah. Beliau pernah berkata,

لاَ تُـقَـلِّـدْنِيْ وَلاَ تُـقَـلِّـدْ مَالِكًا وَلاَ الشَّافِعِيَّ وَلاَ الْأَوْزَاعِيَّ وَلاَ الثَّوْرِيَّ؛ وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا!

Artinya: “Janganlah kalian taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah).” [Diriwayatkan oleh Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam (hal. 113) dan Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in (III/469). Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 53)]


Dilarangnya Bertaqlid bukanlah berarti seseorang di larang  bermazhab,Seseorang di perbolehkan mengikuti mezhab tertentu,di timbang dari dua hal:

Pertama, ketidakmampuannya dalam memahami nash-nash agama,

Kedua, dengan mengikuti madzhab tertentu, dapat mencegahnya dari dampak buruk yang timbul akibat ketidaktahuannya terhadap perkara syari’at. Misalnya, membuat pendapat baru yang sama sekali tidak pernah disampaikan oleh ulama.

[Lihat Majmu’ Fatawa (XI/514 dan XX/209), Al-Mukhtasharul Hatsits (hal. 195), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 302)]

Akan tetapi seseorang yang bermazhab,tidak boleh merasa cukup dengan apa yang ada pada mazhabnya,melainkan ia harus belajar dan mendalami ilmu syar'i, agar dia mengatahui mana yang bebar dan mana yang salah, mana yang shahih dan mana yang dha'if, karena para imam tidaklah ma'sum, mereka bisa benar dan juga bisa salah. Dan apa bila ia mengetahui ada kekeliruan dan pertentangan dari mazhabnya dengan hadits yang shahih, maka tidak boleh baginya meninggalkan hadits shahih dengan mempertahankan kekeliruan dari mazhabnya tersebut.

Sebagaimana perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma pernah berkata: “Celakalah orang-orang yang mengikuti kesalahan seorang alim. Si alim berpendapat dengan ra’yu-nya (akalnya), lalu dia bertemu dengan orang yang lebih alim darinya tentang (Sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian orang tersebut memberitahukannya (pendapat yang lebih benar dari pendapatnya) maka si alim tersebut mengikuti pendapat yang benar dan meninggalkan pendapatnya yang salah. Sedangkan para pengikutnya (tetap) berhukum dengan pendapat si alim yang salah tersebut.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/165-166) dan I’lamul Muwaqqi’in (III/455)]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Barang siapa yang ta’ashshub (fanatik) kepada seseorang, maka kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) yang ta’ashshub kepada salah seorang Shahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. Ini adalah jalannya ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang mereka telah keluar dari syari’at dengan kesepakatan ummat dan berdasarkan al-Quran dan Sunnah.” [Lihat Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal. 46-47]

Senada dengan Syaikhul Islam diatas, Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafy rahimahullah pun pernah berkata, “Barang siapa yang ta’ashshub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan imam yang lainnya, maka dia seperti orang yang ta’ashshub kepada seorang Shahabat dan mengesampingkan Shahabat yang lainnya. Seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) yang ta’ashub kepada ‘Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. Ini adalah jalannya para pengikut hawa nafsu.” [Lihat Al-Ittiba’ (hal. 80)]

Islam ditegakkan di atas ilmu. Oleh karena itu dalam setiap pelaksanaan syari’at haruslah dilandasi dengan ilmu. Adapun taqlid, itu bukanlah ilmu, sehingga orang-orang yang taqlid tidak boleh mengatakan bahwa pendapat orang yang dia ikuti itu adalah pendapat yang paling benar, sampai dia mampu untuk melakukan pembuktian secara ilmiyah bahwa pendapat tersebut adalah benar.

Dengan demikian, wajib bagi seluruh manusia yang menginginkan keselamatan di dunia maupun di akhirat untuk senantiasa berpegang teguh kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak menyelisihinya karena perkataan atau perbuatan manusia. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling utama untuk diikuti dan petunjuknya adalah sebaik-baik petunjuk.

Semoga Allah mengokohkan hati kita di atas jalan-Nya, dan di atas sunnah.



Disalin dari berbagai sumber.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Taqlid Antara Fanatik dan Ittiba'

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter