12 September 2013

Ciri-Ciri Khawarij "Mereka Menentang Pemerintah"

بســـــــــــــــم الله الرحمن الرحيـــــــــــــــــم


Ciri-Ciri Khawarij "Mereka Menentang Pemerintah"


Selain gampang mengafir-ngafirkan, Khawarij di tengah masyarakat kita adalah orang-orang yang amat gampang menuduh pemerintah kita dan aparatnya sebagai orang-orang lalim, kafir, dan antek-antek Salibis-Yahudi. Mereka menjelek-jelekkan pemerintah kita dalam majelis-majelis pengajian mereka, pembicaraan-pembicaraan internal antar mereka, atau sekedar obrolan-obrolan ringan di waktu-waktu senggang mereka.

Mereka juga menyerukan sikap penentangan terhadap pemerintah beserta kebijakan-kebijakannya di tengah masyarakat kita. Orang-orang Khawarij mendakwahkan bahwa kesempurnaan Islam dapat tercapai dengan menggantikan sistem pemerintahan kita dengan sistem pemerintahan Islam (baca: penegakan syariat Islam lewat jalur kekuasaan). Khusus masalah ini, mereka termasuk orang yang gelap-mata dalam berpendapat. Mereka menutup faktor-faktor lain di luar faktor ini sebagai solusi umat.

Di tengah maraknya usaha untuk menjatuhkan citra pemerintah oleh pihak oposan sekarang ini, orang-orang Khawarij ikut menyebarkan semangat menjelek-jelekkan pemerintah itu dengan dalih amar ma’ruf nahi mungkar atas nama umat Islam. Bahkan dapat dikatakan, kebencian mereka terhadap pemerintah kita jauh melebihi kebencian seorang politikus yang berdiri dalam barisan oposisi pemerintah. Dalam istilah mereka, pemerintah beserta jajaran aparatnya adalah thaghut-thagut yang mesti diperangi bersama.

Karena mereka menghafal Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah, tindakan mereka itu selalu dilandasi ayat-ayat atau hadits-hadits tentang jihad, amar ma’ruf nahi mungkar, janji-janji surga bagi yang matisyahid (dalam pandangan mereka). Dengan sorot mata yang tajam dan uraian yang berapi-api serta kiasan-kiasan sederhana, mereka sangat fasih membawakan dalil-dalil ancaman bagi siapa pun yang taat terhadap para thaghut (baca: pemerintah kita). Bukan rahasia umum lagi, kiranya, jika orang-orang Khawarij dikenal sebagai orang-orang yang memiliki retorika bicara bagus dan mudah meyakinkan orang lain.

Dalam retorika Khawarij di Indonesia, kata “Iman” lalu “Hijrah” dan “Jihad” (iman, hijrah, jihad) menjadi semacam keyword untuk mengenali orang-orang Khawarij di tengah masyarakat kita. “Hidup mulia atau mati syahid” termasuk slogan yang membakar anggota-anggota muda mereka. “70 bidadari di surga” atau “Para Peminang Bidadari” adalah dorongan yang terus diulang-ulang agar mereka melakukan sebuah aksi berani dalam apa yang mereka sebut sebagai jihad.

Dakwah mereka melulu mengedepankan kata “jihad” dan “mati syahid” ketimbang kata “tauhid dan sunnah” atau “akhlak-akhlak karimah”. Kelompok mana pun atau siapa saja yang menjadikankeyword-keyword tersebut sebagai slogan-slogan dalam dakwah masing-masing sekarang ini dapat diidentifikasi sebagai Khawarij atau, setidaknya, orang-orang yang terpengaruh pemahaman Khawarij.

Tentang ajakan untuk bertauhid, orang-orang Khawarij juga, ternyata, mengajarkan tauhid dalam dakwah-dakwah mereka. Bedanya, tauhid orang-orang Khawarij diistilahkan dengan TAUHID MULKIYAH. Dengan itu, mereka memaksudkan bahwa tidak ada hukum selain hukum Allah (inil hukmu illa lillah). Artinya, dalam masalah hukum, menegakkan hukum Islam sebagai hukum negara adalah bagian tauhid yang mesti dilakukan pertama kali.

Karena itulah, bagi mereka, setiap penguasa atau negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah wajib untuk digantikan dengan penguasa atau negara yang berhukum dengan hukum Allah. Kita mafhum sekarang, tauhid mulkiyah adalah dalih utama bagi orang-orang Khawarij untuk memberontak dan mengafirkan penguasa serta para pendukungnya yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Menegakkan tauhid, buat orang-orang Khawarij, adalah menegakkan negara dan hukum Islam meski sambil menebar teror.

Padahal dalil yang mewajibkan untuk taat kepada pemerintah sangatlah banyak, disini akan saya bawakan beberapa dalil,baik al-Qur'an, hadits, maupun ijma.

A. Dalil Dari Al-Qur'an

Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memerintahkan menaati pemimpin sebagaimana dalam firman-Nya:

يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكمْ

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS.An-Nisa’: 59)

B. Dalil dari Sunnah

1. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berwasiat: “Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)

2. Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim 6/480)

3. Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari -kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka harus berlepas diri(dengan hatinya) dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya (minimal dengan hatinya, pent) maka dia akan selamat. Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka -para sahabat- bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”. Maka beliau menjawab, “Jangan, SELAMA MEREKA MASIH MENJALANKAN SHALAT.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim 6/485).

4. Dalam hadits ‘Iyadh bin bin Ghunm radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa maka janganlah dia menampak hal itu secara terang-terangan/di muka umum, akan tetapi hendaknya dia memegang tangannya seraya menyendiri bersamanya -lalu menasehatinya secara sembunyi-. Apabila dia menerima nasehatnya maka itulah -yang diharapkan-, dan apabila dia tidak mau maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajiban dirinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad sahih, lihat al-Ma’lum, hal. 23, lihat juga perkataan asy-Syaukani dalam kitabnya as-Sail al-Jarar yang dikutip dalam kitab ini hal. 44).

5. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas setiap individu muslim untuk selalu mendengar dan patuh dalam apa yang dia sukai ataupun yang tidak disukainya, kecuali apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat. Maka apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim 6/470)

6. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atasmu untuk mendengar dan taat, dalam kondisi susah maupun mudah, dalam keadaan semangat ataupun dalam keadaan tidak menyenangkan, atau bahkan ketika mereka itu lebih mengutamakan kepentingan diri mereka di atas kepentinganmu.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim 6/469).

7. “Sesungguhnya akan terjadi setelahku para pemimpin yang mementingkan diri mereka (tidak memberikan hak kepada orang yang berhak) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” Mereka mengatakan, “Wahai Rasullullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Berikan hak mereka yang menjadi kewajiban kalian dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

8. “Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati kalian.” Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang?” Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia mendirikan shalat (di antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.” (Sahih, HR. Muslim)

9. Ketika Abu Dzar  radhiyallahu 'anhu keluar ke daerah Rabadzah karena menuruti perintah Khalifah ‘Utsman  radhiyallahu 'anhu  disebabkan ia memiliki sebuah permasalahan dengan seseorang, ia berjumpa dengan serombongan orang Iraq yang mengatakan, “Wahai Abu Dzar, sungguh telah sampai kepada kami perlakuan yang menimpamu. Maka tegakkanlah bendera (maksudnya ajakan untuk memberontak), niscaya akan datang kepadamu orang-orang dari mana saja kamu mau.” Maka beliau menjawab, “Pelan-pelan wahai kaum muslimin. Sungguh saya mendengar Rasulullah  shallalahu 'alaihi wa sallam  bersabda, ‘Akan datang setelahku para penguasa maka muliakanlah dia. Barang siapa yang menghinakannya berarti ia telah membuat satu lubang dalam Islam dan tidak akan diterima taubat darinya sampai ia mengembalikannya seperti sebelumnya’.” (Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1079, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya sahih.”)

10. “Barang siapa yang melihat pada pemimpinnya suatu perkara ( yang dia benci ), maka hendaknya dia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah satu jengkal saja kemudian dia mati,maka dia mati dalam keadaan jahiliyyah.” (HR. Bukhari)

C. Dalil dari atsar ahlul ilmi 

1. Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)

2. AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada nnemberontak.” (Fathul Bari, 13/7)

3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Jika aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan bagi para pemimpin.”  ia ditanya: “Wahai Abu ‘Ali jelaskan maksud ucapan tersebut?” Beliau berkata: “Apabila do’a itu hanya aku tujukan untuk diriku sendiri, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat dan kebaikannya.”
(Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamajah, Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas, Pustaka Imam Syafi’i. babVI poin ke tujuh puluh lima : Ahlus Sunnah Taat Kepada Pemimpin Kaum Muslimin,hal-573-576.)

4. Imam Al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin muhammad bin Abi al-Izz ad-Dimasqy rahimahullah (terkenal dengan ibnu Abil ‘Izz), berkata : Hukum mentaati ulil Amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipat gandakan pahala. Karena Allah ’azza wajalla tidak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu tergantung amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampun, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan.

5. Imam Al-Barbahari rahimahullah  dalam kitabnya Syarhus Sunnah berkata , “Jika engkau melihat seseorang mendo’akan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk salah satu pengikut hawa nafsu, namun jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk Ahlus Sunnah, insya Allah.”

6. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “… kecuali apabila kaum muslimin telah melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki bukti kuat dari sisi Allah tentangnya, maka tidak mengapa melakukan pemberontakan kepada penguasa ini untuk menyingkirkannya dengan syarat apabila mereka mempunyai kemampuan yang memadai. Adapun apabila mereka tidak memiliki kemampuan itu maka janganlah mereka memberontak. Atau apabila terjadi pemberontakan maka -diduga kuat- akan timbul kerusakan yang lebih dominan, maka mereka tidak boleh memberontak demi memelihara kemaslahatan masyarakat luas. Hal ini berdasarkan kaidah syari’at yang telah disepakati menyatakan bahwa; ‘tidak boleh menghilangkan keburukan dengan sesuatu yang -menimbukkan akibat- lebih buruk dari keburukan semula, akan tetapi wajib menolak keburukan itu dengan sesuatu yang benar-benar bisa menyingkirkannya atau -minimal- meringankannya.’…” (al-Ma’lum Min Wajib al-’Alaqah baina al-Hakim wa al-Mahkum, hal. 9-10)


Wahai kaum muslimin, saudara dan saudariku,,
Banyak orang-orang yang bersemangat dalam mengejar khilafah,akan tetrapi mereka melupakan apa yang sebab Allah memberikan kekhilafahan tersebut. Karena kekhilafahan adalah anugerah dari Allah subhanahu wata'ala, bagaimana mungkin Allah akan menganugerahkan pemipin yang adil dan menjalankan hukum sesuai al-Qur'an dan Sunnah jika rakyatnya sendiri JAUH dari tuntunan al-Qur'an dan Sunnah.

Rakyatnya masih banyak yang suka benda-benda keramat, mencari berkah dikuburan, berbuat syirik, perdukunan merajalela, apakah mungkin Allah akan memberikan kita karunia berupa pemimpin yang adil sedangkan kita bermaksiat dan berbuat musyik kepadaNya..

Bukankah pemimpin kita merupakan cermin daripada rakyatnya??

Artinya bila rakyatnya zalim, maka Allah akan memberikan pemimpin yang seperti mereka. Demikian juga jika rakyatnya shalih, maka Allah akan memberikan pemimpin untuk mereka yang shalih juga,

Abdul Malik bin Marwan juga mengatakan, “Berbuat adillah kalian, wahai rakyat! Kalian menginginkan kami untuk berjalan dengan perihidup Abu Bakr dan ‘Umar, padahal kalian tidak berbuat demikian terhadap kami dan pada diri kalian.” (Sirajul Muluk, hlm. 100—101, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 165—166)

Abul Walid ath-Thartusi rahimahullahu berkata, “Jika kamu berkata bahwa raja-raja (penguasa) di masa ini tidak seperti raja-raja di masa lalu, maka (dijawab) bahwa rakyat sekarang pun tidak seperti rakyat di masa lalu. Kamu tidak lebih berhak mencela penguasamu ketika kamu menengok (membandingkan dengan) penguasa dahulu daripada penguasamu mencela kamu ketika dia menengok rakyat yang hidup di masa lalu. Maka jika penguasamu berbuat zalim terhadap kamu, hendaknya kamu bersabar dan dosanya ditanggung (penguasa itu).
Sejauh ini saya masih mendengar ucapan orang, ‘Amal-amal kalian adalah para penguasa kalian,’ ‘Sebagaimana kalian, maka seperti itulah penguasa kalian,’ sampai pada akhirnya saya mendapatkan makna semacam itu dalam Al-Qur’an (ketika) Allah Azza Wa Jalla berfirman:

وكذلك نولي بعض الظالمين بعضا بما كانوا يكسِبونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menguasai sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (al-An’am: 129)

Al-Hasan al-Bashri rahimahullahu mengatakan, “Ketahuilah—semoga Allah Azza wa Jalla memberimu ‘afiyah (keselamatan)—bahwa kezaliman para raja merupakan azab dari Allah  Azza wa Jalla. Dan azab Allah Azza wa Jalla itu tidak dihadapi dengan pedang, akan tetapi dihindari dengan doa, taubat, kembali kepada Allah  Azza wa Jalla , serta mencabut segala dosa. Sungguh azab Allah Azza wa Jalla jika dihadapi dengan pedang maka ia lebih bisa memotong.” (asy-Syari’ah karya al-Imam al-Ajurri t, hlm. 38, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 166—167).

Inilah hakikat yang perlu diketahui dan selalu diingat, bahwa munculnya penguasa jahat adalah karena amal kita yang jahat juga, seperti perbuatan maksiat, bid’ah, khurafat, dan perbuatan syirik kepada Allah Azza wa Jalla. Camkan ini wahai para tokoh pergerakan!

Sikap kalian dengan memberontak, mencaci-maki, merendahkan, atau bahkan mengafirkan para penguasa justru membuat penguasa semakin bengis. Bukan hanya kepada kalian, namun juga kepada orang-orang yang tidak berdosa. Inilah akibat dari amalan bid’ah yang bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah.
Jangan kalian sangka bahwa dengan perbuatan itu kalian sedang berjihad dan menegakkan Islam. Namun sebaliknya, kalian sungguh sedang menggerogoti Sunnah Nabi shallalahu 'alaihi wa sallam untuk meruntuhkan salah satu penyangga ajaran Islam.

Sikap yang benar untuk menyudahi kezaliman penguasa adalah dengan memperbaiki amal kita baik dari sisi akidah, metode dakwah, ibadah, maupun akhlak serta mengikuti ajaran Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam dalam menghadapi penguasa.

Wallahua'lam,,,maafkan aku yang masih jauh dari agama.....



Belajar Islam

5 Dzulqo'dah 1434H

Bogor,Jawa Barat




Belajar Islam

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Ciri-Ciri Khawarij "Mereka Menentang Pemerintah"

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter