بسْـــــــــــــــم الله الرّحْمن الرّحيْـــــــــــــــم
QUNUT SUBUH
Permasalahan yang sering muncul ketika kita memulai dakwah di masyarakat adalah perbedaan pendapat antar madzhab terutama dalam masalah-masalah yang bukan ushul dan di situ dibolehkan adanya ijtihad. Kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah kita dihadapkan pada suatu masyarakat dengan pemahaman dienul islam yg masih lemah dan mereka seringkali terbelenggu dalam taklid buta terhadap pendapat madzhabnya. Pendapat madzhab yang dianutnya adalah benar dan pendapat selainnya adalah salah tanpa melihat dalil dari masing-masing pendapat dan mereka terjatuh dalam perbuatan saling mengingkari dan saling membid’ahkan. Padahal dalam masalah ijtihadiyyah para ulama, kita tidak boleh saling mengingkari dan hendaknya kita berlapang dada dalam perbedaan pendapat ini. Salah satu contoh dalam hal ini yang masih sering terjadi adalah masalah Qunut Subuh. Dimana Qunut Subuh ini dilakukan oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia. Bagaimana sikap kita dalam melihat masalah ini. Berikut ini saya kutipkan tanya jawab bersama Syaikh Mamduh Farhan al Buhairi yang dimuat pada majalah Qiblati edisi 03 tahun III, semoga bermanfaat.
Penanya: Assalamu’alaikum. Qiblati yang selalu di hati, ya akhi Qiblati yang dimuliakan oleh Alloh, tolong minta dalil tentang qunut subuh, mana sebenarnya yang rajih, mereka yang qunut atau yang tanpa qunut? Solanya yang ana lihat di Indonesia tiada subuh tanpa qunut. Ana percaya jawaban Qiblati pasti bikin lega di hati.
Jawab :
Wa’alaikumussalam, Terima kasih atas kepercayaannya, dengan izin Alloh kami tidak akan mengecewakan harapan bapak Abu Bilal. Begini, hadits tentang qunut subuh sangat banyak. Telah shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau pernah qunut sebulan mendo’akan laknat atas suku Ri’i, Dzakwan dan ‘Ushayyah, kemudian beliau meninggalkannya. Hal itu terjadi saat mereka membunuh para Qurra’ (kurang lebih 70 qari’) dari kalangan sahabat.
Telah shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau qunut setelah itu selang beberapa waktu lamanya, yaitu setelah perjanjian Hudaibiyyah dan penaklukan Khaibar. Beliau berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin yang tertindas di Mekkah, agar Alloh menyelamatkan mereka dari musuh-musuh mereka. Beliau berdo’a qunut untuk kepentingan kaum mukminin dan melaknat orang-orang kafir. Dan qunut beliau ini ada pada shalat subuh.
Telah shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau qunut dalam shalat Maghrib, Isya’ dan Zhuhur. Dalam kitab Sunan diterangkan bahwa beliau qunut dalam shalat Ashar juga. Oleh karena itulah kaum muslimin berselisih menjadi tiga pemahaman ijtihad:
1. Kelompok pertama mengatakan bahwa qunut itu telah manshuk (dihapus), tidak lagi disyari’atkan. dasarnya adalah Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam qunut kemudian meninggalkannya. Meninggalkannya menurut mereka sama dengan naskh (penggantian) sebagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam meninggalkan berdiri untuk jenazah. Ini adalah madzhab Imam Abu hanifah dan ulama Iraq.
2. Kelompok kedua mengatakan bahwa qunut dalam shalat subuh adalah disyari’atkan selamanya, dan itu sunnah. Di antara mereka ada yang mengatakan sebelum ruku’ setelah selesai baca al Qur’an yang dilakukan secara sirri. Ini adalah madzhab Imam Malik. Di antara mereka ada yang mengatakan setelah ruku’ secara keras. Mereka menganjurkan membaca do’a qunut yang diajarkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Hasan bin Ali radhiallahu’anhuma. Ini adalah madzhab Imam Syafi’i. Mereka juga berhujjah dengan hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu:
“Adapun dalam shalat subuh maka beliau senantiasa melakukan do’a qunut hingga meninggal dunia.” (HR. Ahmad, Hakim, Daruquthni, lihat juga Mukhtashar al-Muzani:1/17)) atau:
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah meninggalkan qunut dalam shalat subuh, hingga beliau diwafatkan oleh Alloh.” (HR. Ahmad, al Bazzar, ad daruquthni, al Baihaqi dan al Hakim)
3. Kelompok ketiga mengatakan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan qunut karena ada sebab kejadian kemudian beliau meninggalkan qunut saat tidak ada sebab peristiwa. Sehingga qunut disyari’atkan jka ada peristiwa saja. Ini adalah madzhab fuqaha ahli hadits, dan ini yang didapat dari khulafa’ rasyidin. Umar radhiallahu ‘anhu ketika memerangi kaum Nasrani berdoa’ qunut dengan do’a yang dibaca oleh kaum muslimin dalam qunut Ramadhan sekarang:
اللهم عذ ب كـفـرة أهل الكـتا ب
Abu Malik al Asyja’i rahimahullah berkata: “Aku berkata kepada bapakku: ‘Wahai bapakku, sungguh anda telah shalat di belakang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di belakang Abu Bakar, Umar, ‘Utsman dan Ali radhiallahu’anhum, maka apakah mereka qunut pada shalat subuh?” Maka dia menjawab: “Wahai anakku, itu adalah perkara baru.” (HR. al Khamsah kecuali Abu dawud, di shahihkan oleh al Albani dalam al Irwa’ (435))
Adapun hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu tadi- yang menyetakan Nabi qunut subuh sampai wafat- maka ia tidaklah shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. Hadits ini memiliki tiga jalan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang kesemuanya lemah.
Sekelompok ulama telah menghukumi hadits ini sebagai hadits lemah, yang tidak bisa berhujjah dengannya. Di antara mereka adalah Ibnul jauzi dalam al-‘Ilal al Mutnahiyah (1/444), Ibnu at Turkimani dalam Ta’liq ‘ala al Baihaqi, Ibnu taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (22/374), Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad (1/99), al hafidz Ibnu Hajar dalam at Talkhis al Khabir (1/245). Dan diantara ulama mutaakhkhirin adalah al Albani dalam silsilah ad Dha’ifah (1/1238)
Di samping itu hadits Anas ini bertentangan dengan logika; yaitu bagaimana mungkin Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam selalu qunut dalam shalat subuh dan membaca do’a rutin sementara tidak di ketahui sama sekali do’a yang dibaca itu. Tidak dalam hadits shahih maupun dhaif. Bahkan para sahabat yang paling mengerti tentang sunnah seperti Ibnu Umar radhiallahu’anhuma mengingkarinya dengan mengatakan : “Kami tidak pernah melihat dan tidak mendengarnya.” Apakah masuk akal jika dikatakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam selalu qunut, sedangkan Ibnu Umar radhiallahu’anhu bersaksi: “Kami tidak pernah melihat dan mendengarnya?” (Majmu’ Fatawa:243:108)
Maka pada masalah tersebut, yang rajih (kuat, unggul) adalah tidak disyari’atkannya qunut subuh terus terusan. Dengan kata lain ia adalah sunnah ‘aridhah (kadang kala) bukan sunnah daimah (langgeng), karena tidak ada bukti dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau terus menerus qunut subuh hingga meningggalkan dunia ini. Namun perlu diketahui bahwa dalam masalah ijtihadiyyah para ulama ini, kita tidak boleh saling mengingkari, melainkan harus saling menghormati dan menasehati, sampai Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan:
“Oleh karena itulah sudah selayaknya bagi makmum untuk mengikuti imamnya terhadap perkara yang didalamnya menerima medan ijtihad. Maka jika imam qunut, hendaknya dia qunut bersama imam. Dan jika imam tidak qunut maka jangan qunut. Dikarenakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: ‘Imam itu dijadikan untuk diikuti.’ Dan beliau bersabda: ‘Janganlah kalian menyelisihi Imam-Imam kalian.’ Dan juga telah shahih dari beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: ‘Mereka (para imam) shalat untuk kalian, maka jika mereka benar, maka (pahala itu) untuk kalian dan juga untuk mereka, dan jika mereka salah, maka (pahala) bagi kalian dan (dosa) atas mereka.’”
“Tidakkah kalian tahu bahwa seandainya imam membaca pada dua rakaat terakhir dengan sebuah surat bersama dengan bacaan al Fatihah dan memanjangkannya atas dua rakaat yang pertama maka wajib mengikutinya dalam yang demikian?”
“Adapun mendahului imam, maka itu tidak diperbolehkan. Maka jika imam Qunut, tidak boleh bagi makmum untuk mendahuluinya, maka dia harus mengikutinya. Oleh karena itulah Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu telah mengingkari ‘Utsman (yang melakukan shalat) empat rakaat (Zhuhur dan Ashar masing-masing empat rakaat) di Mina, (namun) kemudian dia tetap shalat dibelakang Utsman empat rakaat. Dikatakan kepadanya tentang yang demikian, dia menjawab: ‘Perselisihan itu buruk.’ Demikian pula Anas bin Malik radhiallahu’anhu tatkala ditanya oleh seorang laki-laki tentang waktu lempar (jumrah), maka dia mengabarkan kepadanya. Kemudian Anas berkata: ‘Lakukanlah sebagaimana yang diperbuat oleh imam (pemimpinmu).’ Wallahu a’lam.” (al Fatawa al Kubra (2/245), Majmu’ Fatawa (23/116)).
Sumber: ( http://abuzubair.wordpress.com/2008/03/27/qunut-subuh/ )
Kedudukan Qunut Subuh
Ustadz Abu Ismail Muslim Al Atsari
Salah satu amalan yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku bermadzhab Syafi’i (termasuk sebagian besar muslimin di Indonesia) adalah qunut subuh. Diantara dalil-dalil yang digunakan adalah apa yang tercantum dalam kitab Al Adzkar An Nawawi sebagai berikut:
Imam An Nawawi rahimahullah berkata, Ketahuilah bahwa qunut shalat subuh adalah sunnah, karena ada hadits shahih di dalamnya, dari Anas radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkan qunut di dalam (shalat) subuh hingga beliau meninggal dunia. (Hadits ini) diriwayatkan oleh al Hakim Abu Abdillah dalam kitab al Arba’in dan dia berkata shahih.
Setelah beliau (Imam Nawawi rahimahullah) menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-i, Ibnu Majah dan Baihaqi tentang do’a qunut dalam witir -Allahummah dinii fii man hadait …- beliau berkata, Dan dalam riwayat yang disebutkan al Baihaqi bahwa Muhammad bin al Hanafiyah yaitu Ibnu Ali bin Abi Thalib berkata, Sesungguhnya do’a ini (yaitu doa qunut witir) adalah do’a yang dibaca ayahku (Ali bin Abi Thalib) dalam shalat fajar di saat qunut.
Kemudian Imam Nawawi rahimahullah berkata, Telah berkata sahabat-sahabat kami, qunut dengan doa yang datang dari Umar bin Khaththab, maka itu baik juga, karena beliau (Umar) telah qunut di dalam shalat subuh setelah ruku’ lalu berdoa -Allahumma inna nasta’inuka …-.
Untuk menentukan suatu amalan itu bernilai wajib, sunnah atau bahkan bid’ah perlu diteliti dalil dan hujjah yang mendukungnya, shahih atau tidak, sebab tidak boleh berhujjah kecuali dengan riwayat yang shahih. Oleh karena perlu dibahas satu persatu dalil dan hujjah yang berkenaan dengan qunut subuh ini.
Hadits Pertama: Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terus menerus melakukan qunut di dalam shalat subuh sampai meninggalkan dunia.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq di dalam Al Mushannaf (3/110/4964), Ibnu Abi Syaibah (2/312), Ath Thahawi di dalam Syarhul Ma’ani (1/143), Ad Daruquthni (hal 178), Al Hakim dalam Al Arba’in, Al baihaqi dari jalan Al Hakim (2/201), Al Baghawi di dalam Syarhus Sunnah (3/123/739), Ibnul Jauzi di dalam Al Wahiyah (1/444-445) dan Ahmad (3/162) dari jalan Abu Ja’far Ar Razi dari Rabi’ bin Anas dari Anas bin Malik.
Al Baghawi rahimahullah menyatakan bahwa Al Hakim berkata, Isnadnya hasan. Al Baihaqi menyatakan bahwa Al Hakim berkata, Isnadnya shahih dan para perawinya terpercaya… dan dia meyetujuinya. An Nawawi menyatakan bahwa Al Hakim berkata, Hadits shahih.
Sebenarnya hadits ini tidak shahih karena perawi yang bernama Abu Ja’far Ar Razi dilemahkan oleh para ulama. Ibnu At Turkumani berkata dalam membantah Al Baihaqi, Bagaimana bisa sanadnya shahih padahal perawi dari Rabi’ yang bernama Abu Ja’far Isa bin Mahan Ar Razi adalah seorang yang diperbincangkan. Ibnu Hambal dan An Nasa-i mengatakan bahwa dia (Abu Ja’far) tidak kuat, sedangkan Abu Zur’ah berkata bahwa dia (Abu Ja’far) sering keliru dan Al Fallas berkata bahwa hafalannya (Abu Ja’far) buruk, bahkan Ibnu Hibban berkata bahwa dia (Abu Ja’far) menceritakan riwayat-riwayat yang mungkar dari orang-orang yang terkenal.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Zadul Ma’ad (1/99), Adapun Abu Ja’far, dia telah dilemahkan oleh Ahmad dan lainnya. Ibnul Madini berkata bahwa dia (Abu Ja’far) sering kacau. Abu Zur’ah berkata bahwa dia (Abu Ja’far) sering keliru.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam At Taqrib, Dia seorang yang jujur, tetapi hafalannya buruk, khususnya (riwayat) dari Mughirah.
Az Zaila-i berkata dalam Nashbur Rayah (2/132) setelah meriwayatkan hadits tersebut, Hadits ini telah dilemahkan oleh Ibnul Jauzi di dalam At Tahqiq dan di dalam Al Mutanahiyah, dan beliau berkata bahwa hadits ini tidak shahih karena Abu Ja’far yang namanya Isa bin Mahan telah dikatakan oleh Ibnul Madini bahwa dia sering kacau (hafalannya)…
Selain itu hadits tersebut Mungkar karena bertentangan dengan dua hadits yang shahih yaitu:
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasanya tidak melakukan qunut kecuali apabila mendo’akan kebaikan bagi suatu kaum atau mendo’akan kecelakaan atas satu kaum. Diriwayatkan oleh Al Khathib di dalam kitabnya dari jalan Muhammad bin Abdullah Al Anshari (yang berkata): Sa’id bin Abi ‘Arubah telah menceritakan kepada kami dari Qatadah dari Anas bin Malik.
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasanya tidak melakukan qunut di dalam shalat subuh kecuali apabila mendo’akan kebaikan bagi suatu kaum atau mendo’akan kecelakaan atas satu kaum. Az Zaila-i (2/130) mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Ibrahim bin Sa’d dari Sa’id dan Abu Salamah dari Abu Hurairah.
Penulis kitab At Tanqih berkata, Dan sanad kedua hadits ini shahih, dan keduanya merupakan nash bahwa qunut (adalah) khusus pada nazilah.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam Ad Dirayah (hal 117) setelah membawakan dua hadits itu, Isnad kedua hadits ini shahih.
Hadits Kedua: Bahwa Muhammad bin al Hanafiyah yaitu Ibnu Ali bin Abi Thalib berkata, Sesungguhnya do’a ini adalah do’a yang dibaca ayahku (Ali bin Abi Thalib) dalam shalat fajar di saat qunut.
Riwayat di atas dari Al Baihaqi rahimahullah adalah tidak shahih. Ada riwayat lain yang menyatakan bahwa doa tersebut adalah doa dalam qunut subuh, Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut di dalam shalat subuh dan witir malam dengan kalimat-kalimat ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Fakihi dan Al Baihaqi dari jalan Abdul Majid, yaitu Ibnu Abdul Aziz bin Abi Rawad dari Ibnu Juraij yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmuz telah menceritakan hadits ini kepadaku.
Hadits di atas juga tidak shahih karena Abdul Majid ini lemah dari sisi hafalannya, sedangkan Ibnu Hurmuz dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar bahwa: Keadaanya perlu untuk dibuka (diteliti).
Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, Di dalam jalan menuju Buraid dari yang kedua, yang didalamnya disebutkan qunut shalat subuh, ada perawi yang bernama Ibnu Hurmuz yang telah engkau ketahui keadaanya. Padahal pada jalan lain yang shahih tidak disebutkan. Berdasarkan hal ini maka -menurutku- qunut di dalam shalat subuh dengan menggunakan do’a ini tidak sah.[ Irwaul Ghalil II/172-175, hadits no. 429 ]
Adapun doa qunut witir tersebut (yakni -Allahummah dinii fii man hadait …-) diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Nashr, Ibnul Jarud dan Ath Thabarani di dalam Al Mu’jamul Kabir dari Yunus bin Abi Ishaq dari Buraid bin Abi maryam As Saluli dari Abil Haura’ dari Al Hasan bin Ali yang berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan di dalam qunut witir. dan Isnadnya shahih.
Perkataan Imam Nawawi yang menyatakan bahwa doa Umar tersebut beliau ucapkan di saat qunut subuh itu memang benar. Akan tetapi sebenarnya doa tersebut adalah untuk qunut nazilah sebagaimana diketahui dari doa beliau yang memohon kecelakaan atas orang-orang kafir. Imam Nawawi berkata, Ketahuilah bahwa yang diriwayatkan dari Umar, Siksalah orang-orang kafir Ahli Kitab, karena peperangan para sahabat pada waktu itu melawan Ahli Kitab. Adapun sekarang yang dipilih hendaklah mengatakan, Siksalah orang-orang kafir, karena hal itu lebih umum. Dari sini jelaslah bahwa do’a Umar tersebut adalah doa qunut nazilah yang tidak menafikan hal itu dilakukan di saat shalat subuh.
Banyak para ulama yang berpendapat tidak disyari’atkannya qunut subuh terus menerus (sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang), di antaranya:
Abu Malik Al Asyja’i, beliau berkata: Aku bertanya kepada bapakku, Wahai bapakku, sesungguhnya engkau telah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di sana, di Kuffah sekitar lima tahun. Apakah mereka semua melakukan qunut fajar? Bapakku menjawab, Hai anakku, itu perkara baru. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa-i, Ibnu Majah, Thahawi, Ibnu Abi Syaibah, Thayalisi dan Al Baihaqi dari beberapa jalan dari Abu Malik).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Oleh karena inilah tatkala Ibnu Umar ditanya tentang qunut (subuh) terus menerus, beliau menjawab, Kami tidak pernah mendengar dan tidak pernah melihat.[ Majmu’ Fatawa XXIII/101 ]
Ishaq Al Harbi berkata: Saya mendengar Abu Tsaur bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, Bagaimana pendapat anda tentang qunut di waktu subuh? Abu Abdillah menjawab, Qunut itu hanyalah di waktu nawazil.[ Ash Shalat wa Hukmu Tarikiha: 216 dinukil dari Al Qaulul Mubin:131 ]
Disebutkan di dalam biografi Abul Hasan Al Karji Asy Syafi’i yang wafat pada tahun 532 H bahwa beliau tidak melakukan qunut di dalam shalat subuh (padahal beliau bermadzhab Syafi’i). Dan beliau menyatakan, Di dalam bab itu tidak ada satu haditspun yang shahih.
Syeikh Al Albani rahimahullah berkata, Hal ini di antara yang menunjukkan ilmu dan keadilan beliau (Abul Hasan Al Karji Asy Syafi’i). Dan bahwa beliau termasuk orang-orang yang diselamatkan oleh Allah dari cacat-cacat ta’ashub madzhab. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita termasuk mereka dengan karunia-Nya dan kemurahan-Nya.
Wallahu a’lam bish shawwab.
Disarikan dari tulisan Abu Ismail Muslim Al Atsari pada Majalah As Sunnah Edisi 11/Th IV/1421 – 2000
Maraji’: www.salafyoon.net
Sumber: (Abuzubair.wordpress.com)
Fatwa Syaikh bin Baz,masalah Qunut.
Mengikuti imam yang qunut subuh, dan hukum sujud sahwi meninggalkannya
Soal: Apa hukum membaca doa qunut subuh, apakah meninggalkannya wajib diganti dengan sujud sahwi? Jika sujud sahwi tidak dikerjakan apakah sholatnya dianggap sah?
Jawab:qunut subuh tidak disyariatkan dilakukan terus menerus, bahkan perbuatan ini tidak disyariatkan, minimal hukumnya makruh, bahkan dari tinjauan nash-nash secara zahir menunjukkan perbuatan itu adalah bid’ah.
Telah terdapat keterangan yang sah dari Saad bin Thariq al-Asyja’iy dari bapaknya bahwa dia pernah bertanya kepada ayahnya: ”Wahai a’yah, sesungguhnya engkau pernah sholat dibelakang Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam di belakang Abu Bakar dan Umar serta Utsman dan Ali, apakah mereka melakukan qunut ketika subuh? Maka ayahnya menjawab: Wahai anakku itu adalah perbuatan yang diada-adakan. (HR. Tirmizi, Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan sanad yang baik)
Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak disyariatkan, yaitu qunut yang dilakukan secara terus menerus, dianggap perbuatan yang diada-adakan tidak pernah diperbuat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam tidak pula para sahabatnya maupun para khalifahnya.
Sebagian para ulama berpendapat bahwa qunut subuh adalah perkara yang dianjurkan—sebagaimana pendapat Imam Syafii rahimahullah dan dan lainnya. Mereka berlandaskan dengan hadis Anas bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam melakukan qunut ketika subuh hingga meninggal dunia, tetapi hadis ini lemah di kalangan para ulama dan dihukumi tidak sah, yang benar qunut subuh hanyalah untuk peristiwa-peristiwa yang menimpa kaum muslimin seperti perang yang dilakukan musuh-musuh Islam barulah dianjurkan untuk qunut.
Adapun pertanyaan berikutnya yaitu wajibkah mengerjakan sujud sahwi dengan meninggalkannya? Maka jawabnya tidak perlu sujud sahwi karena ia hanya mustahab(anjuran saja dalam qunut nazilah).
Adapun di luar qunut nazilah Anda telah mengetahui bahwa amalan tersebut adalah bid'ah maka tidak perlu sujud sahwi karena meninggalkannya. Bahkan selayaknya meninggalkan qunut ini, jika ia tidak sujud maka tidak mengapa dan sholatnya sah.
Jika qunut nazilah saja tidak disyariatkan sujud sahwi ketika luput mengerjakannya dan tidak dianggap membahayakan(membatalkan) sholat, dan sholat mereka tetap sah, maka kebiasaan qunut subuh terus menerus adalah makruh atau bid’ah dan tidak perlu sujud diganti sujud sahwi, bahkan utamanya ditinggalkan.
Soal: ”Imam masjid kami selalu mengerjakan qunut subuh jarang sekali dia meninggalkannya, sebagai makmun yang sholat di belakangnya bolehkah baginya turut mengangkat kedua tangannya(mengaminkan doa qunut) imam dari belakang?”
Jawab: Jika Imam qunut maka tidak mengapa bagi makmun untuk ikut qunut dengannya, tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya, karena sunnahnya tidak ada qunut ketika subuh yang ada adalah qunut ketika witir ataupun qunut nazilah ketika datang bencana menimpa kaum muslimin, seperti peperangan, atau adanya musuh menyerang, maka imam boleh berdoa setelah ruku’ dengan mengangkat kedua tangannya sebagaimana Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah melakukannya pada sholat subuh dan waktu sholat lainnya, adapun membiasakan qunut secara rutin adalah perkara yang menyelisih sunnah. Perkara yang benar adalah meninggalkannya, tetapi jika anda sholat dengan imam yang membaca qunut tidak mengapa anda turut mengaminkan doanya dan mengangkat kedua tangannmu.
(Sumber: http://www.abufairuz.com/tag/hukum-qunut-subuh/)
Di pulikasikan oleh: Belajar Islam
Oleh :Admin
0 komentar:
Posting Komentar
“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]