18 Juni 2013

Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah

                                       بسْـــــــــــــــم الله الرّحمن الرّحيْــــــــــــــم




A]. BANTAHAN DAN TANGGAPAN DALIL PERTAMA

Tiga ayat yang dijadikan dalil oleh Inkaarus Sunnah (penentang As-Sunnah) tidak dapat dijadikan hujjah atau dasar untuk menolak As-Sunnah. Menurut Imam al-Auza’i rahimahullah bahwa yang dimaksud Al-Qur’an menerangkan segala sesuatu, yakni menerangkan dengan penjelasan yang terdapat dalam As-Sunnah. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan kewenangan oleh Allah untuk menerangkan Al-Quranul Karim kepada umat manusia.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.


“Artinya : Dan Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu agar engkau jelaskan kepada manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir” [An-Nahl : 44]Kata Imam Asy-Syafi’i, “Istilah al-Bayan (tibyan) yang disebut dalam Al-Qur’an mengandung berbagai makna yang mencakup pengertian pokok sebagai sumber yang dijabarkan dalam berbagai cabang hukum (furu’). Hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an oleh Allah kepada makhluk-makhlukNya yang mengandung berbagai segi


1). Ketentuan fardhu yang dicantumkan sebagai nash secara global, yaitu wudhu’, shalat, zakat, puasa, dan haji. Juga terdapat larangan berbuat keji secara terang-terangan atau tersembunyi, seperti larangan zina, minum-minuman keras, makan bangkai, ma-kan darah, dan daging babi. Demikian pula disebutkan tata cara wudhu’ dan sebagainya.


2). Ketentuan yang tegas dari firman Allah dalam Al-Qur’an dijelaskan melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya jumlah raka’at shalat, nishab dan waktu zakat, serta ketentuan lainnya yang belum dijabarkan dalam Al-Qur’an.


3). Ketentuan yang diundangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur-an wajib diikuti, karena Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta selalu berpedoman kepada hukumnya. Barangsiapa yang telah melaksanakan ketentuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti ia menerima ketentuan Allah.


4). Kewajiban yang dikenakan kepada hamba-hamba-Nya ini bertujuan agar bersungguh-sungguh mencari keterangan itu, dan Allah menguji ketaatan mereka dalam berijtihad sebagaimana ujian dalam hal-hal yang difardukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Selanjutnya Imam Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa barangsiapa yang menjadikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an sebagai sumber hukum, pasti akan menjadikan As-Sunnah sebagai hujjah, karena Allah telah menjadikan makhluk-Nya untuk mentaati Rasul-Nya.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:“Artinya : ..Apa yang diberikan Rasul kapadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggal-kanlah…” [Al-Hasyr: 7]


“Artinya : Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa’: 65]


Orang-orang yang ingkar kepada As-Sunnah dengan menggunakan beberapa dalil dari ayat yang mengingkari ayat-ayat lain yang memerintahkan taat kepada Rasu-lullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adalah seperti orang-orang yang di-sinyalir Allah dalam firman-Nya:


“Artinya : Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melain-kan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat besar. Dan Allah tidak lengah dari apa kamu perbuat.” [Al-Baqarah : 85]


[B]. BANTAHAN DAN TANGGAPAN DALIL KEDUA



Adapun yang dimaksud dengan istilah hifzhudz dzikir dalam ayat 9 surat al-Hijr:“Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikra dan Kami pasti memeliharanya.” [Al-Hijr : 9]Tidaklah terbatas pada perlindungan terhadap Al-Qur’an saja, melainkan mencakup peraturan Allah serta peraturan yang diundangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Allah menetapkan arti dzikr itu lebih umum dari hanya al-Qur’an saja.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:“Artinya : Tanyakanlah kepada ahli dzikir sekiranya kalian tidak mengetahui.” [An-Nahl: 43]


Yang dimaksud dzikir dalam ayat ini ialah orang yang memahami Dinullah dan syari’at-Nya. Tidaklah diragukan lagi bahwa Allah menjamin Sunnah Rasul-Nya sebagaimana Dia menjamin Kitab-Nya. Hal ini terbukti dari perjuangan ulama yang telah menghabiskan usianya dalam menghafal, menyalin, mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di samping itu mereka juga tidak lupa mengadakan seleksi yang ketat terhadap As-Sunnah.


Imam Muhammad bin ‘Ali bin Hazm yang terkenal dengan Ibnu Hazm berkata, “Di antara para ahli bahasa dan syari’at tidak terdapat perbedaan faham bahwa wahyu dari Allah merupakan ajaran yang diturunkan. Wahyu ini seluruhnya dijamin oleh Allah Ta’ala. Segala yang termasuk dalam jaminan Allah pasti tidak akan hilang atau menyimpang sedikit pun selama-lamanya, dan tidak akan pernah muncul keterangan yang membatalkan wahyu tersebut”.


Kemudian Ibnu Hazm menolak penafsiran kata dzikr dalam Al-Qur-an (Al-Hijr: 9) yang hanya diartikan sebagai Al-Qur’an saja. Ia berkata, “Pandangan tersebut hanyalah dusta yang jauh dari pembuktian, dan bermaksud mempersempit arti dzikr tanpa suatu dalil pun. Kata dzikr dalam ayat tersebut ialah suatu nama yang berkaitan dengan segala yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, baik itu Al-Qur’an maupun As-Sunnah, dan As-Sunnah merupakan wahyu sebagai penjelasan Al-Qur’an.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


“Artinya :…Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an agar engkau menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir.” [An-Nahl: 44]Jadi, nyatalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menjelaskan kepada ummat manusia, karena banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang hanya dicantumkan secara garis besarnya saja, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Dari bunyi lafazhnya, tidak dapat kita ketahui apa sebenarnya yang dikehendaki Allah kepada kita selaku hamba-Nya. Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan penjelasan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekiranya penjelasan tersebut tidak ada atau diabaikan begitu saja, maka sebagian besar syari’at yang difardhukan kepada kita akan gugur, dan kita tidak mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ayat-ayat tersebut (bila As-Sunnah tidak dijamin).


Al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, setelah membaca ayat di atas (Al-Hijr : 9), ia berkata: “Konsekuensi dari ayat ini ialah bahwa syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap terpelihara dan Sunnahnya tetap dijaga Allah.”


Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Sunnah Nabi j terpelihara ialah Allah menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi, dan syari’atnya sebagai penutup segala syari’at. Ummat manusia dipe-rintahkan Allah agar beriman dan mengikuti syari’atnya sampai hari Kiamat, dengan demikian batallah syari’at yang menyalahi syari’at beliau. Allah tetapkan syari’at beliau serta memeliharanya, karena suatu hal yang mustahil bila Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya mengikuti syari’at yang telah lenyap, atau tidak terpelihara. Dan ingat, ummat Islam telah sepakat bahwa rujukan asasi bagi syari’at Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena kita tidak bisa memahami Al-Qur’an dan menegakkan hujjah Allah dalam mengadili hamba-hamba-Nya melainkan dengan risalah dan syari’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini sebagai pertanda bahwa pemeliharaan Al-Qur-an tidak sempurna melainkan dengan dipeliharanya As-Sunnah. Ada satu di antara kaidah ushul yang perlu kita ketahui, Syaikh Jamaluddin al-Qasimy menjelaskannya bahwa hadits tersebut dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala


[D]. PENTADWINAN (PENGUMPULAN/PEMBUKUAN) AS-SUNNAH



Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut masalah-masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam penyampaiannya terjadi kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zubair, “Mereka yang kuat ingatannya telah menyampaikan hadits tanpa ada kesalahan, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah”As-Sunnah disalin dengan sangat hati-hati, baik dengan jalan hafalan maupun tulisan. Hal ini telah berlangsung sejak zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman para Shahabat sampai akhir abad pertama, hingga kemudian lembaran-lembaran yang berisikan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dikumpulkan pada masa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Di mana ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sejak itu pula dimulai ilmu periwayatan hadits. Kata khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kepada Abu Bakar bin Muhammad, “Perhatikanlah hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tulislah hadits-hadits itu, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dengan wafatnya para ulama, dan janganlah diterima melainkan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam saja.” [1]


Setelah Abu Bakar bin Muhammad menerima perintah khalifah, ia pun memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang ulama besar dan pemuka ahli hadits, untuk mengumpulkan hadits Nabi j secara resmi.


Tentang adanya periwayatan hadits, memang telah ditegaskan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri dalam salah satu sabdanya:


“Artinya : Sekarang kalian mendengar, dan kalian nanti akan didengar, dan akan didengar pula dari orang yang mendengar dari kalian.” [2]


Maksudnya, para Shahabat mendengar hadits-hadits dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, melihat perbuatan-perbuatan beliau, sifat-sifat beliau, dan segala perbuatan yang ditaqrir oleh beliau, kemudian para Shahabat meriwayatkannya (sesudah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat), riwayat para Shahabat akan didengar, diperlihatkan, dan dicatat oleh para Tabi’in. Begitu selanjutnya, para Tabi’in yang mendengar hadits dari para Shahabat akan meriwayatkan lagi, yang juga akan didengar dan dicatat oleh Tabi’ut Tabi’in. Bagai roda yang terus berputar, hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam akan senantiasa diriwayatkan, diperlihatkan, didengar dan dicatat oleh imam pencatat hadits dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Malik, Ahmad, asy-Syafi’i, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan yang lainnya. Kitab-kitab mereka ini terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman yang akhirnya sampai kepada kita dan insya Allah terus terpelihara hingga akhir zaman.


Kemudian setelah thabaqah Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (wafat th. 117 H) dan Muham-mad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H), datanglah thabaqah kedua dengan pendiwanan (pembukuan) yang dilakukan secara resmi pula. Mereka ini terdiri dari ulama-ulama besar dan pemuka-pemuka ahli Hadits, di antaranya ialah:1. Ibnu Juraij di Makkah2. Sa’id bin Arubah3. Al-Auza’i di Syam4. Sufyan ats-Tsauri di Kufah5. Imam Malik bin Anas di Madinah6. ‘Abdullah Ibnul Mubarak7. Hammad bin Salamah di Bashrah8. Husyaim9. Imam asy-Syafi’i


Mereka ini semuanya dari generasi Tabi’ut Tabi’in yang hidup pada zaman kedua Hijriyah. Cara pengumpulannya masih bercampur dengan perkataan-perkataan Shahabat dan fatwa-fatwa Tabi’in. Di antara kitab-kitab hadits yang paling masyhur pada abad ini ialah kitab al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas. Kemudian pada permulaan abad ketiga Hijriyah, bangkit kembali pemuka-pemuka ahli hadits yang membukukan hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam secara resmi. 


Dalam pengumpulan kali ini mereka menempuh dua cara, yaitu:


Pertama.


Khusus mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja. Orang yang pertama kali mengumpulkannya ialah:• Imam al-Bukhari (Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, lahir th. 194 H – wafat th. 256 H)• Imam Muslim (Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, lahir th. 204 H – wafat th. 261 H)


Kedua.


Hanya mengumpulkan hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam saja tanpa membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Dalam kitab-kitab mereka ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dha’if, bahkan ada pula yang maudhu’ (palsu). 


Kitab-kitab yang masyhur pada abad ketiga Hijriyah, antara lain :


1. Musnad Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H)2. Shahih al-Bukhari (194 – 256 H)3. Shahih Muslim (204 – 261 H)4. Sunan Abu Dawud (202 – 275 H)5. Sunan ad-Darimi (181 – 255 H)6. Sunan Ibni Majah (209 – 273 H)7. Sunan an-Nasa-i (225 – 303 H)


Sedangkan kitab-kitab yang masyhur pada abad keempat Hijriyah, antara lain:


1. Shahih Ibnu Khuzaimah (223 – 311 H)2. Mu’jamul Kabir, Mu’jamul Ausath, dan Mu’jamush Shaghir, yang disusun oleh ath-Thabrani (260-340 H)3. Sunan ad-Daraquthni (306 – 385 H)4. Al-Mustadrak al-Hakim (321 – 405 H)


Manuskrip-manuskrip para ulama ini terpelihara dengan rapi di berbagai perpustakaan dunia Islam. Kitab-kitab tersebut disalin dan dicetak ulang hingga tersebar ke berbagai pelosok dunia Islam. Kemudian kitab-kitab itu disyarah lagi oleh para ulama, ditahqiq, dan diringkas sanadnya. Demikianlah mata rantai yang tiada putus-putusnya dari rawi ke rawi terjaga dengan baik. Oleh karena itu, sudah semestinya kita mempercayainya. Walaupun ada orang-orang yang mencoba untuk membuat riwayat-riwayat palsu. Tapi para ulama telah membahas dan meneliti serta menerangkan dengan jelas dalam kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadits-hadits dha’if dan palsu, sehingga dengan demikian tidak menimbulkan keraguan lagi dalam menerima hadits-hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam .


Pada abad sekarang ini ada seorang pakar hadits yang bernama Syaikh al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau telah menyeleksi kitab-kitab Sunan dari Kutubus Sab’ah dengan membedakan antar yang shahih dan yang dha’if, kitab-kitab ini sudah dicetak. Di antaranya:


1. Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Dha’if Sunan at-Tirmidzi,2. Shahih Sunan Abi Dawud dan Dha’if Sunan Abi Dawud,3. Shahih Sunan an-Nasa-i dan Dha’if Sunan an-Nasa-i,4. Shahih Sunan Ibni Majah dan Dha’if Sunan Ibni Majah,5. Shahih al-Adabul Mufrad dan Dha’if al-Adabul Mufrad,6. Shahih Mawariduzh Zham’an dan Dha’if-nya,7. Shahih at-Targhib wat Tarhib dan Dha’if-nya, dan kitab-kitab yang lainnya.


Bila mata rantai yang tiada putusnya dari zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dalam penulisan hadits dan pembukuannya masih diragukan, maka orang yang meragukan adalah orang-orang yang zindiq, kufur, dan termasuk orang-orang yang paling bodoh di dunia tentang As-Sunnah, bahkan dihukumi keluar dari Islam. Dihukumi kafir karena dia telah menolak hujjah-hujjah As-Sunnah dan meragukan kebenaran yang datang dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.


[E] BANTAHAN DAN TANGGAPAN DALIL KEEMPAT



Dua riwayat yang dibawakan penentang As-Sunnah adalah lemah :


1. Riwayat pertama dengan periwayat Thabrani dalam kitab Mu’jamul Kabir dari jalan ‘Ali bin Sa’id ar-Razy, dari az-Zubair bin Muhammad az-Zubair ar-Rahawi, dari Qatadah bin al-Fudhail, dari Abi Hadhir, dari al-Wadhiin, dari Salim bin ‘Abdillah dari ‘Abdullah bin ‘Umar.


Sanad pada hadits ini lemah, karena ada beberapa ‘illatnya :


a. Al-Wadhiin bin ‘Atha’ jelek hafalannyab. Qatadah bin al-Fudhail, kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, “Bisa diterima kalau ada mutabi’-nya.”c. Abi Hadhir tersebut lemah


2. Riwayat kedua dengan riwayat ad-Daraquthni dan al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dari jalan Yahya bin Adam, dari Ibnu Abi Dzi’bin, dari Sa’id bin Abi Sa’id al-Makburi, dari ayahnya dari Abu Hurairah.


Abu Hatim ar-Razi dan Imam al-Bukhari menerangkan dalam tarikhul Kabir bahwa Ibnu Thuhman dari Ibnu Abi Dzi’bin dari Sa’id al-Makburi, dari Nabi J ia menyebutkan hadits di atas, Yahya berkata, “Dari Abu Hurairah.” Ini adalah satu kekeliruan, sebenarnya tidak ada penyebutan Abu Hurairah.


Jadi ‘illat hadits di atas ialah mursal, dan hadits mur-sal tidak bisa dijadikan hujjah. Kata Imam al-Baihaqi, “Ada hadits yang semakna dengan ini, tapi semuanya lemah. Ibnu Khuzaimah tentang kedudukan hadits ini mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat seorang di Timur ataupun di Barat yang mengenal berita Ibnu Abi Dzi’bin selain Yahya bin Adam. Dan tidak ada ulama hadits yang menetapkan hadits ini bersumber dari Abu Hurairah. Sesungguhnya terdapat kesimpangsiuran pada Yahya bin Adam mengenai sanad dan matannya, terdapat ikhtilaf yang banyak sehingga hadits ini goncang. Ada yang menyebutkan namanya, sehingga hadits ini terma-suk mursal.


Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat yang dija-dikan pegangan para penentang dengan menggunakan hadits sebagai hujjah ternyata tidak mempunyai dasar sama sekali, bahkan para pakar hadits menyatakan bahwa dasar yang dijadikan untuk menentang As-Sunnah adalah tidak kuat.


Mengingkari penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan anggapan bahwasanya Islam hanya memiliki sumber hanya dari Al-Qur’an semata, tidak mungkin menjadi pendirian seorang muslim yang benar-benar memahami agama Allah dan syari’at-Nya. Karena mengingkari As-Sunnah berarti mengingkari Al-Qur’an, bukankah ba-nyak hukum syari’at yang ditetapkan dalam As-Sunnah?


Pada umumnya, hukum-hukum yang terdapat da-lam Al-Qur’an hanyalah secara garis besar saja. Hal itu dibuktikan bahwa kita tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an bahwa shalat itu lima waktu sehari semalam. Atau apakah kita temukan jumlah raka’at shalat di da-lamnya, tentang nisab zakat, rincian ibadah haji, dan segala hukum mu’amalah dan ibadah.


Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm (wafat th. 456 H), yang dikenal dengan Ibnu Hazm, ber-kata, “Dapat kiranya kita mengajukan berbagai pertanyaan kepada orang yang rusak pendiriannya, yang tidak mau menggunakan hadits sebagai hujjah. Di bagian manakah ia dapat menemukan shalat Zhuhur empat rakaat dalam Al-Qur’an, cara sujud, bacaan shalat, dan cara salam? Adakah penjelasan tentang berbagai larangan bagi orang yang berpuasa, nishab zakat emas, perak, kam-bing, unta, dan sapi? Adakah aturan rinci tentang pelaksanaan ibadah haji, waktu wuquf di Arafah, cara me-laksanakan shalat di Muzdalifah, cara melempar jumrah, tata cara ihram, dan larangannya? Adakah ketentuan tegas tentang balasan-balasan potong tangan bagi pencuri, larangan kawin dengan saudara sepersusuan? Adakah hukum yang rinci tentang makanan dan sembelihan yang diharamkan, sifat sembelihan dan binatang kurban? Adakah rincian hukum pidana, ketetapan hukum thalaq (cerai), hukum jual beli, riba, hukum perdata, sumpah dan hukum tahanan, umrah, shadaqah, dan semua ketentuan fiqh lainnya.


Di dalam Al-Qur’an terdapat ketentuan yang menye-luruh, yang apabila rinciannya kita abaikan, kita tidak mungkin dapat melaksanakan isi Al-Qur’an. Untuk itu kita harus kembalikan semuanya kepada apa yang telah diriwayatkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau. Sekalipun kesepakatan ulama yang berkenaan dengan persoalan yang sederhana, haruslah didasarkan pada hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sekiranya masih ada orang yang berpendirian bahwa hanya yang terdapat di dalam Al-Qur’an saja yang dijadikan pegangan, maka menurut ijma’ ulama orang tersebut telah kafir. Karena orang yang berpendirian seperti itu, niscaya dia akan merasa cukup shalat satu raka’at dari waktu terbit fajar hingga larut malam, dia tidak akan menemukan dalam Al-Qur’an lebih dari sekedar perintah shalat.


Orang yang Inkar Sunnah adalah kafir, musyrik, halal darah dan hartanya. Mereka sama halnya dengan tokoh Rafidhah yang telah dihukumi kafir menurut ijma’ ummat Islam.Selain itu jika ada orang yang hanya berpegang pada pendapat yang disepakati para imam saja, dan meninggalkan setiap yang diperselisihkan padahal nash-nashnya ada, mereka menurut ijma’ ulama termasuk orang fasik.


Atas kedua dasar itulah hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam wajib dijadikan pegangan. [3]

Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul ‘Ilmi bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmu? (Fat-hul Baary I/194) dan ad-Darimy (I/126).
[2]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/321), Abu Dawud (no. 3659), al-Hakim (I/95) dan Ibnu Hibban (Shahih Mawariduzh Zham’an no. 65), dari jalan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu
[3]. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (I/214-215), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah

(Sumber : http://blumewahabi.wordpress.com)


Kota Tapis Berseri: Kotaagung,Lampung

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah

  • Dunia Diciptakan Karena Nur (Cahaya) Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallamبســـــــــــــــم الله الرحمن الرحيـــــــــــــــمDUNIA DICIPTAKAN KARENA NUR (CAHAYA) NABI MHUHAMMAD SHALALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM?Proses tashfiyah dan tarbiyah , pemu ...
  • Maulid Nabi Sunnah Atau Bid'ah.?!بسم الله الرحمن الرحيمStudi kritis buku "Maulid Nabi Sunnah Atau Bid'ah"Penulis Dan Penerbit Buku IniBuku ini ditulis oleh Novel bin Muhammad Alaydrus dan diterbitkan ol ...
  • Haram Musik بســــــــــــــــم الله الرحمن الرحيــــــــــــــمHARAMNYA MUSIKDiriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ghanm al-Asy’ari, dia berkata, “Abu ‘Amir atau Abu Malik al-As ...
  • SUNNAH RASUL MALAM JUM'AT "KATANYA?"بســـــــــــــــم الله الرحمن الرحيـــــــــــــــمSUNNAH RASUL MALAM JUM'AT "KATANYA?"Oleh, Abu Umar AbdillahSudah sering kita mendengar ungkapan ini. Baik saat komuni ...
  • Praktek Keagamaan Di Saudi Arabia Dan Fakta Yang Dirasakan Masyarakat Di SanaBismillahPRAKTEK KEAGAMAAN DI SAUDI ARABIA DAN FAKTA YANG DIRASAKAN MASYARAKAT DI SANAOlehUstadz Abdullah Roy M.AMasyarakat dunia bisa dipastikan mengetahui adanya Negar ...

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter