بســـــــــــــــم الله الرحمن الرحيــــــــــــــم
TINGGALKAN BEBAN =====Bawalah=====BEKAL PERJALANAN
oleh;
Abu Umar Abdillah
Disebutkan dalam hadits Muslim yang diriwayatkan dari Jarir radhiyallahu'anhuma, bawa suatu kali Nabi shalallahu alaihi wasallam kedatangan serombongan kaum dari Mudhar. Kebanyakan mereka telanjang kaki dan berpakayan compang camping sembari menyandang pedang. Tampak dari wajah Rasaulullah shalallahuu alaihi wasallam yang menaruh belas kasihan kerena kefakiran mereka. Usai shalat,Nabi shalallahu alaihi wasallam berkhutbah membacakan beberapa ayat al-Qur'an, hingga beliau baca Firman Allah dalam surat al-Hasyr:
ياأيها الذ ينءامنوااتقواالله ولتنظر نفس ما قدمت لغد واتقواالله
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok(akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah." (QS.Al-Hasyr:18)
Seseorang telah bersedekah dengan dinarnya, dirhamnya,pakayannya, takaran sha' kurmanya sampai beliau berkata"walaupun dengan separuh kurma."
Jarir berkata ;"Lalu seorang anshar datang membawa sebanyak genggaman tangannya, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu menggenggamnya, bahkan tidak mampu. kemudian berturut-turut orang bersedekah sampai aku melihat banyak makanan dan pakaiyan seperti bukit, dan kulihat wajah Rasulullah bersinar seperti emas."(HR.Muslim)
Begitu antusiasnya para sahabat untuk menyiapkan bekal akhiratnya. Mereka paham betul apa yang Allah kehendaki dengan seruan itu. Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut." Yakni hitunglah(amal) dirimu sebelum amal kalian nanti dihitung, dan lihatlah perbekalan amal shalih apa yang telah kamu siapkan untuk tempat kembalimu di akhirat, juga saat perjumpaanmu dengan Rabbmu."
*Membawa Bekal,Membuang Beban*
Begitulah semestinya perilaku seorang hamba yang menyadari, bahwa dirinya berjalan menuju Allah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia. Ia selalu memeriksa perbekalan, menambal yang kurang dan menambah segala hal yang berfaedah. Inilah yang dibahasakan oleh Ibnu Qayyim dalam Madarijus Saalikin dengan muhasabah. Suatu fase yang harus dilakukan para musafir ilallah, baik di awal perjalanan dan bahkan sepanjang perjalanan.Ibnu Qayyi al-Jauziyah menjelaskan bahwa inti muhasabah ada dua;
Hendaknya ia jeli memeriksa apa yang menjadi haknya dan apa yang menjadi kewajibannya. Sehingga dia mengetahui apa yang menjadi bagiannya kelak di akhirat ketika dia menjalankan kewajiban dan tuntutannya. Maka tatkala seseorang menginginkan pahala, keridhaan dan kanikmatan akhirat, ia harus memeriksa dan menyiapkan segala hal di dunia sebagai konsekuensinya.
Pada fase ini, bahkan masih banyak orang yang belum mampu membedakan hal-hal yang berfaedah sebagai bekal dan mana pula yang sejatinya menjadi beban. Ibarat seorang musafir yang memenuhi pundi-pundinya dengan kerikil, yang tidak berfaedah sedikitpun untuk meringankan perjalanan, justru menjadi beban yang memberatkan langkahnya. Begitulah Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggambarkan orang-orang yang salah dalam mengambil bekal akhirat. Yakni orang yang beramal dengan amal yang dianggapnya sebagai keshalihan, namun tidak memenuhi kriteria amal shalih; Ikhlas dan mengikuti sunnah. Keadaan mereka digambarkan oleh Allah Ta'ala dalam Firman-Nya,
قل هل ننبئكم بالاخسرين اعمالا () الذن ضل سعيهم فى الحيوةالدنيا وهم يسبون انهم يحسنون صنعا
"Katakanlah, 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al-Kahfi:103-104)
Mereka melakukan perbuatan yang disangka baik, padahal itu tidak dianggap baik oleh Allah. Maka mereka salah dalam mengidentifikasi kebaikan dan keburukan. Atau sebagai musafir, mereka telah salah memilih bekal. Karena apa yang dianggapnya sebagai bekal justru menjadi beban baginya dalam perjalanan akhiratnya.
Besar kemungkinan mereka salah dalam mengambil barometer. Misalnya, kebaikan dalam anggapan mereka adalah apa yang dianggap baik oleh orang kebanyakan. Dia berbuat sabagaimana orang banyak berbuat, dia berpendapat dengan pendapat mayoritas umumnya manusia, dan berprilaku kebanyakan manusia ini kemudian sebagai tolok ukur kebenaran.
Padahal,betapapun suatu itu banyak digandrungi manusia, disukai dan dianggap baik oleh mereka, itu sama sekali bukan indikasi kebaikan atau kebenaran. Dan suatu keburukan tidak akan berubah statusnya menjadi kebaikan meski sudah jamak dilakukan kebanyakan orang.
Allah Ta'ala berfirman:
قل لايستوى الخبيث والطيب ولو أعجبك كثرةاخبيث
"Katakanlah,"Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu,"(QS.Al-Maidah:100)
Ada yang menganggap baik segala hal yang menjadi adat istiadat peninggalan nenek moyang. Segalanya dianggap tradisi leluhur yang harus dijaga, meski secara syari'at tak sedikit yang masuk dalam katagori kesyirikan. Betapa banyak orang yang berbangga dan merasa bisa mengumpulkan pahala dengan melestarikan tradisi nenek moyang meski bertentangan dengansyari'at. Hingga orang-orang yang fanatik terhadapnya menjadikan adat sebagai pilihan harga mati. Mereka mengambil sikap seperti yang Allah sebutkan dalam surat al-Maidah: 100 yang telah lewat.
Inilah yang memberatkan perjalanannya dengan beban, padahal mereka mengira telah membawa banyak bekal.
Yang lebih banyak lagi terjerumus dalam kesalahan adalan ketika seseorang menganggap bid'ah sebagai suatu yang bernilai pahala. Dengan tampilan dan kemasan yang tampak mirip dengan syari'at dan pandangan orang awam, bid'ah menjadi amal favorit kebanyakan orang. Padahal, seandainya habis umur seseorang untuk mencukupkan diri dengan yang disunnahkan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam, niscaya umur telah habis dan masih banyak sunnah yang tertinggal. Lantas bagaiman bisa seseorang lebih memilih BID'AH yang tidak diajarkan daripada SUNNAH???
Inilah kenapa ibnu Al-Jauzi mengatakan, " Seseungguhnya bid'ah lebih disukai setan daripada maksiat( dalam versi lain dosa besar), karena pelaku maksiat mudah diarapkan taubatnya, sedangkan pelaku bid'ah sulit diharapkan taubatnya." Sulit, karena mereka tak menyadari dirinya berdosa, bahkan merasa telah mengumpulkan pahala.
Begitulah muhasabah, menuntut kita untuk selektif dalam memilih bekal perjalanan. Ikut-ikutan jelas bukan menjadi jurus yang bisa diandalkan. Tetapi belajar islam lebih detil, peka terhadap penyimpangan dan jeli dalam membedakan. Tidak sebagaimana "Haathibul lail"( pencari kayu bakar di malam hari) yang tidak membedakan apa-apa yang diambilnya, apakah kayu kering,kayu basah,kayu berduri,atau bahkan ular turut pula diambilnya.
*Hitung dulu perbaiki kemudian*
Muhasabah akan membuat seseorang menyadari aib dan kekurang jiwa. Dan barang siapa yang tidak mengetahui aib jiwanya, ia tidak dapat membersihkannya. Dan barang siapa tidak mengetahui kekurangan dirinya, niscaya ia tidak akan mampu menutup dan menyempurnakannya.Tak ada waktu yang paling tepat untuk mengoreksi dan memperbaiki, kecuali 'SEKARANG'. Karena kita tidak tahu kapan datangnya ajal.
Abu Musa radhiyallahu'anhuma,mengingatkan.
"Bermuhasabahlah pada dirimu dalam keadaan lapang, sebelum hisab disaat yang susah."(Ghadza'ul Albab: II/350)
Tradisi inilah yang menjadi khas orang mu'min yang taqwa dengan para pendosa. Hasan al-Basri rahimahullah,mengatakan:
"Engkau tidak akan menjumpai seorang mu'min melainkan dia akan mengintrofeksi dirinya,' Wahai jiwaku, apa yang hendak engaku lakukan? Wahai jiwaku,apa yang hendak engkau makan? Apa yang hendak engkau minum?' Sementara itu seorang pendosa akan mengalir begitu saja tanpa mengintrofeksi dirinya."
Beliau rahimahullah,juga mengatakan," sesungguhnya seorang hamba tetap dalam keadaan baik selama masih ada penasihat dari jiwanya dan muhasabah selalu menjadi perhatiannya."
Tatkala seorang telah menyadari kekurangannya maka mudah baginya untuk memperbaiki diri. Faktanya, seringkali seorang telah merasa cukup perbekalannya, banyak pahala amal shalihnya dan sedikit dosa-dosanya. Mungkin ia hanya membandingkan dengan orang lain yang ia lihat di sekelilingnya, lalu merasa lebih baik. Ia tidak melihat bagaimana seharusnya amal dilakukan secara ideal, dan seperti apa generasi terbaik umat ini tela menjalankan.
Atau bisa jadi pula ia lupa membandingkan antara kenikmatan yang hendak ia raih, dangan ikhtiar yang telah ia usahakan. Ia juga lupa membandingkan, antara besarnya bahaya yang akan menimpanyya, dengan usaha yang telah ia jalankan. Adapun orang yang jeli perhitungannya, tentu akan mendapati banyak kekurangan di segala lini.
Alangkah jelinya Imam Syafi'i rahimahullah, tatkala berkata, "Jika kamu khawatir terjangkiti ujub atau merasa banyak amal, maka ingatlah tiga hal; Ridha siapa yang kamu cari ??, kenikmatan mana yang kamu cari ??, dan dari bahaya manakah kamu hendak lari ??. Maka barangsiapa merenungkan tiga hal tersebut, niscaya dia akan memandang remeh apa yang telah dicapainya."
Pertanyaan pertama tentu akan kita jawab bahwa ridha Allah yang kita cari. Tapi apakah setiap langkah, gerak gerik kita, diam dan bicara kita menujukan sebagai orang yang menjadikan ridha Allah sebagai tuujuannya? Bandingkanlah dengan usaha dan pengorbanan kita saat ingin mendapatkan ridha manusia, istri, anak, atasan, pimpinan, penguasa, dan manusia seluruhnya. Niscaya kita akan menyadari bahwa apa yang kita lakukan untuk keridhaan manusia dan kerihaan nafsu lebih dominan.
Pertanyaan kedua tentu kita akan menjawab bahwa kenikmatan jannahlah yang kita cari. Tapi cobalah bandingkan; kerja kita untuk dunia dan kerja kita untuk akhirat, manakah yang lebih menonjol dari sisi kualitas maupun kuantitasnya? Padahal kerja akhirat kita untuk kenikmatan tiada tara dan tak ada batasnya.
Pertanyaan ketiga tentu akan kita jawab bahwa kita lari dari bahaya Neraka. Lagi-lagi kita perlu mengoreksi secara jujur. Seberapa gigih usaha kita dalam menghindari neraka. Bandingkan dengan usaha kita tatkala takut dan lari dari penyakit, lari dari kemiskinan, atau ketika takut akan hilangnya kehormatan di mata manusia. Dengan memikirkan tiga hal itu, kita akan sadar betapa amal kita belum seberapa.
Walllahul muwaffiq.
(Sumber: Majalah islam Ar-Risalah, edisi.XII /no.145/10 Sya'ban-Ramadhan 1434H/Juli 2013. Jl.DR.Muh. Hatta.Kp.Madegodo RT/RW. 05/04. Grogol.Sukoharjo, Jawa Tengah. 0823 2719 00002)
Di Ketik ullang oleh. Ahmad Al-Faqir
Kota Tapis Berseri; Pringsewu,Lampung
Artikel. Belajar Islam
0 komentar:
Posting Komentar
“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]