09 September 2013

Subhat-Subhat Kaum Sufi

بســـــــــــــــم الله الرحمن الرحيـــــــــــــــم



SYUBHAT-SYUBHAT KAUM SUFI


A. Syubhat Seputar Ungkapan Kufur Ibnu 'Arabi dan Gembong Sufi Lainnya


Kitab Fushulul Hikam dan al Futuhat al Makkiyah, dua karya Ibnu 'Arabi yang sangat terkenal ini, sarat dengan perkataan-perkataan tentang wihdatul wujud, penafian perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dengan makhlukNya, dan penetapan penyatuan antara keduanya. Sangat jelas, dari dua buku ini, betapa rusak aqidah penulisnya dan orang-orang yang mengikutinya.

Sebagai contoh, 

1. Wihdatul Wujud

Keyakinan wihdatul wujud, merupakan pemahaman ilhadiyah (kufriyah) yang muncul setelah dipenuhi dengan keyakinan hulul. Yaitu, dalam istilah Jawa disebut manunggaling kawula lan gusti. Artinya, bersatunya makhluk dengan Tuhan, pada sebagian makhluk. Tidak ada keterpisahan antara keduanya. Muaranya, segala yang ada merupakan penjelmaan Allah Azza wa Jalla. Tidak ada wujud selain wujud Allah. Hingga akhirnya berpandangan, tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini, kecuali Allah. Pemikiran sesat seperti ini, tidak lain kecuali berasal dari keyakinan Budha dan kaum Majusi.
(Firaq Mu'ashirah, halaman 994)

Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: "Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang (yang sedang) makan dan minum." (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600)

Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata:

العبد رب والرب عبد يا ليت شعري من المكلف

"Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?" (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)

Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen) dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda:
"Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda."
(Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)

Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala  telah berfirman:
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS.Asy-Syura: 11)
"Berkatalah Musa: 'Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.' Allah berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku'…" (QS.Al-A’raf: 143)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, bahwa mereka (orang-orang yang berkeyakinan dengan aqidah wihdatul wujud) telah melakukan ilhad (penyimpangan) dalam tiga prinsip keimanan (iman kepada Allah, RasulNya dan hari Akhirat). Menurut Syaikhul Islam, dalam masalah iman kepada Allah, mereka menjadikan wujud makhluk merupakan wujud Pencipta itu sendiri. Sebuah ta'thil (penghapusan sifat-sifat Allah) yang sangat keterlaluan.
(Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 247)

Pemahaman seperti ini sungguh sangat nista dan kotor. Karena, konsekwensinya berarti seluruh keburukan, binatang-binatang najis, kejahatan, iblis, setan dan perihal buruk lainnya merupakan jelmaan Allah. Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang mujrimin (berbuat kejelekan).

Keyakinan seperti inilah yang menjadi landasan aqidah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Arabi Abu Bakr al Hatimi. Dia lebih dikenal dengan nama Ibnu ‘Arabi [Bukan Ibnul 'Arabi. Karena beliau adalah seorang ulama Malikiyah yang terkenal, dengan nama lengkap Abu Bakr Muhammad bin 'Abdillah t (468-543 H). Di antara karyanya, Ahkamul Qur`an. ]. Lahir tahun 560 H di Andalusia dan meninggal tahun 638 H. Menurut adz Dzahabi, ia (Ibnu 'Arabi) sebagai kiblat orang-orang yang menganut paham aqidah wihdatul wujud
(Dinukil dari Da’watut Taqrib, 1/339)

Simak dua bait syair yang tak pantas ini : 

"Tidaklah anjing dan babi kecuali sesembahan kami
Dan bukanlah Allah, kecuali seorang pendeta di gereja! "
(Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 64)

Lebih jauh Syaikhul Islam menjelaskan bahwa, keyakinan seperti ini diadopsi dari pemikiran para filosof, seperti Ibnu Sina dan lain-lain. Yang kemudian dikemas dengan baju Islam melalui tasawuf. Kebanyakan terdapat dalam kitab al Kutubul Madhnun biha ‘Ala Ghairi Ahliha.(Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 265. Kitab tersebut milik al Ghazali.)

2. Mengatakan bahwa Allah adalah makhluk dan makhluk adalah Allah, masing-masing saling menyembah

Dalam sebuah penggalan syairnya, Ibnu 'Arabi berkata:

العبد رب والرب عبد يا ليت شعري من المكلف

"Hamba adalah Rabb, dan Rabb merupakan hamba
Aku bingung, siapa gerangan yang menjadi mukallaf."

Begitu juga dengan perkataannya : 

"Dia menyanjungku, aku pun memujiNya
Dia menyembahku, dan aku pun menyembahNya".

Dalil yang ia catut untuk mendukung argumentasinya, yaitu firman Allah dalam an Nur/24 ayat 39 :

وو جد الله عنده

"Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya". 

Juga dengan mengusung hadits palsu berikut : 

من عرف نفسه فقد عرف ربه

"(Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Rabb-nya)".

Mengenai argumentasi yang dibawakan ini, Dr. Ghalib 'Awaji memberikan komentar : "Ini merupakan istidlal (pengambilan dalil) yang sangat aneh dan mungkar yang diucapkan oleh seseorang. Bagaimana mungkin mengatakan al Qur`an dan Sunnah mengajak ilhad dan kekufuran kepada Allah? Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah mengatakan, kekufuran mereka lebih parah daripada kekufuran Yahudi dan Nashara serta kaum musyrikin Arab" [Firaq Mu'ashirah 3/994].
Adapun Ahlu Sunnah menetapkan, sebagaimana dikatakan Ibnul Abil ‘Izz rahimahullah dalam kitab -Syarhul ‘Aqidatit-Thahawiyah, halaman 98- : "Ahlu Sunnah bersepakat, tidak ada sesuatu pun menyerupai Allah, baik pada dzatNya, sifatNya maupun af‘al (perbuatan-perbuatan)Nya".

3. Mengatakan bahwa Semua agama adalah sama

Ibnu 'Arabi mengatakan :

عقد الخلائق في الإله عقائد وأنا اعتقدت جميع اعتقدوه

"Semua makhluk berkeyakinan tentang ilah (sesembahan) dengan berbagai keyakinan
Dan aku berkeyakinan (tentang ilah) dengan seluruh yang mereka yakini itu".
(Fushushul Hikam, halaman 345. Dinukil dari Da’watut Taqrib, 1/386)

Ibnu ‘Arabi berkata: "Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an." (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).
(Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal.24-25)

Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata: "Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala."
(Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal.24-25)

Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
"Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Ali Imran: 85)

4. Bolehnya Menolak Hadits Shahih

Ibnu 'Arabi berkata: "Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam secara langsung: "Apakah engkau mengatakannya?" Maka beliau shalallahu 'alaihi wasallam mengingkari seraya berkata: "Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih." Maka diketahui dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkan berdasarkan isnadnya yang shahih. (Al-Futuhat Al-Makkiyah).
(Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 23)

5. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya:
"Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah." (QS.An-Naml: 65)

6. Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat.

Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.  Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta'ala,dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99:
yang mana mereka terjemahkan dengan: "Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwa perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen)." (Majmu’ Fatawa, 11/401)

Beliau juga berkata: "Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri t berkata: 'Sesungguhnya Allah I tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian', kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: 'Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian'."
Beliau melanjutkan: "Dan bahwasanya 'Al-Yaqin' di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin."  (Majmu Fatawa, 11/418)

7. Beribadah kepada Allah bukan karena mengharap surga dan takut neraka, dan meyakini orang-orang yang masuk neraka juga mendapat nikmat.

Keyakinan bahwa ibadah kepada Allah Ta’ala itu bukan karena takut dari adzab Allah Ta’ala (an-naar/ neraka) dan bukan pula mengharap jannah Allah Ta’ala.

Padahal Allah Ta’ala berfirman:

واتقو النارالتى أعيدت للكفرين

"Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir." (QS. ‘Ali Imran: 131)

وسارعواإلى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموت والأرض أعدت للمتقين

"Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa." (QS.‘Ali Imran: 133)

Ibnu 'Arabi berpendapat, bahwa penghuni neraka juga merasakan kenikmatan di neraka, sebagaimana yang dinikmati oleh penghuni jannah di jannah. Karena adzab (yang berarti siksaan), disebut demikian, lantaran kenikmatan rasanya ('udzubatu tha'mihi, dari kata adzbun yang berarti lezat).

8. Mengatakan bahwa wali lebih berilmu daripada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam

Menurut mereka, penutup para wali Allah itu lebih berilmu daripada penutup kenabian. Mereka berpendapat, para nabi -termasuk pula Nabi Muhammad- mengambil ilmu dari celah wali terakhir.

Tentu, pendapat seperti ini, sangat jelas melanggar nash-nash agama dan cara berpikir yang . Seperti sudah dimaklumi, orang yang datang di akhir, ia akan mengambil manfaat dari orang yang berada di depannya. Bukan sebaliknya. Dalam perspektif agama, wali Allah yang paling utama, ialah orang-orang yang mengambil ilmu dari nabi yang mulia. Dan wali Allah yang paling mulia dari umat ini adalah, orang-orang shalih yang menyertai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah berfirman:

"Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu'min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula". [QS. at Tahrim : 4].

Menurut kesepakatan para imam salaf dan khalaf, wali Allah yang paling afdhal adalah Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu kemudian ‘Umar Radhiyallahu 'anhu.

Berbeda dengan pandangan orang-orang mulhid tersebut (Ibnu Arabi dkk), mereka lebih mengutamakan ahli filsafat ketimbang seorang nabi. Ibnu ‘Arabi sendiri mengatakan : "Sesungguhnya penutup para wali mengambil langsung dari piringan logam yang diambil oleh malaikat untuk diwahyukan kepada nabi". Pernyataan ini sangat nampak pelanggarannya terhadap al Kitab, as Sunnah dan Ijma'.

(Ar Risalah ash Shafadiyah, 251)

B. Mِereka Lebih Bodoh Dari Fir'aun

Orang-orang yang mengklaim telah mencapai tingkatan tahqiq, ma'rifah, dan wilayah yang memegangi aqidah wihdatul wujud, asal-muasal perkataan mereka merujuk pernyataan Bathiniyah, dari kalangan kaum filosof, Qaramithah dan semisalnya. Mereka sejenis dengan Fir'aun, namun lebih bodoh darinya [lihat dalm Ar Risalah ash Shafadiyah, Ibnu Taimiyah, 262].
Fir'aun, memang sangat keras pengingkarannya, tetapi ternyata, ia tetap meyakini keberadaan Pembuat alam semesta (Allah) yang berbeda dengan alam semesta. Fir'aun memperlihatkan pengingkaran, tidak lain karena demi meraih kharisma, dan bermaksud menunjukkan jika perkataan Musa sama sekali tidak ada hakikatnya.
(Lihat al Qur`an surat al Mu'min/40 ayat 36-37).

Sedangkan penganut wihdatul wujud, meski meyakini adanya Pembuat alam semesta ini, tetapi mereka tidak menetapkan wujudNya yang berbeda dengan alam ini. Mereka berpendapat, wujudNya sama dengan wujud alam semesta. Bahkan menjadikan Dia menyatu dengan alam semesta. Sungguh suatu pandangan batil yang sangat menyimpang. Bagaimana mungkin al Khaliq sama dengan makhlukNya dari segala sisi? Allah berfirman:

ليس كمثله شىء وهوالسميع البصير

"… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (QS. asy Syura : 11)

Al Imam ath Thahawi mengatakan: "Persangkaan-persangkaan tidak bisa sampai kepada (hakikat)Nya. Pemahaman-pemahaman pun tidak akan mencapai (hakikat)Nya". Ibnu Abil 'Izzi menambahkan pernyataan al Imam ath Thahawi ini dalam syarahnya dengan mengatakan : "Dan Allah Ta'ala tidak diketahui bagaimana dzatNya, kecuali Dia sendiri Subhanahu wa Ta'ala . Kita mengenalNya hanyalah melalui sifat-sifatNya"

(Syarhul ‘Aqitatith-Thahawiyah, halaman 117).

Syaikhul Islam juga mengatakan : "Aqidah yang dibawa para rasul dan yang termuat pada kitab-kitab yang Allah turunkan, serta sudah menjadi kesepakatan Salaful Ummah dan para tokohnya, yaitu penetapan pencipta yang berbeda dengan ciptaannya, dan Dia berada di atasnya (ciptaanNya)".

(Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 263).

Demikian ditinjau dari aspek agama (dalil). Sedangkan dari aspek aqli (logika), sungguh tidak mungkin pencipta menyerupai yang dicipta. Apalagi kalau semua makhluk adalah juga pencipta. Tentu sangat mustahil.


C. Pengusung Aqidah Wihdatul Wujud 

Selain Ibnu 'Arabi, ada beberapa tokoh yang ikut mengusung pemikiran wihdatul wujud. Di antaranya adalah:

Al-Hajaj : Dia adalah Abu Al-Mugis Al-Husain ibnu Mansur al-Baidlawi  atau biasa disebut dengan "Al-Hallaj" adalah salah seorang dedengkot sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan dedengkot  sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: “Akulah Kebenaran”, ucapan yang membuatnya dieksekusi.

Ibnul Faridh. Dalam kumpulan syairnya yang populer, yaitu Ta`iyyah, ia mengungkapkan hakikat aqidahnya. Dia menyatakan dirinya sebagai mumatstsil kabir lillah (penjelma Allah yang besar) dalam sifat dan perbuatanNya.

Abdul Qadir al Jili, penulis kitab al Insanul Kamil, guru Abdul Qadir al Jailani. Dalam salah satu selorohannya, ia berkata : "Dan sesungguhnya aku adalah Rabb bagi alam. Dan penguasa seluruh manusia itu sebuah nama. Dan akulah orangnya".

Abu Hamid al Ghazali, dalam kitab Ihya` Ulumuddin, saat menjelaskan maratibut tauhid (tingkatan-tingkatan tauhid) yang keempat, ia mengatakan : "Tingkatan tidak melihat dalam alam ini kecuali satu wujud saja".

Untuk menjawab kebingungan orang yang mempermasalahkan bagaimana bisa dikatakan satu, padahal banyak hal yang terlihat dan berbeda-beda? Maka ia menjawab: "Ketahuilah, itulah puncak mukasyafat dan rahasia-rahasia ilmu. Tidak boleh dituangkan dalam sebuah kitab. Orang-orang yang arif berkata,'Membeberkan rububiyah adalah kufur'."

Jawaban ini mengandung tuduhan kepada Allah dalam menjelaskan aqidah, karena secara implisit dari jawabannya berarti Allah belum menerangkannya dengan sejelas-jelasnya, demikian juga Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. tidak diketahui kecuali orang-orang yang sudah mencapai tingkatan kasyf dalam wacana sufi.

(Firaq Mu’ashirah Tantasibu Ilal Islam, 3/1002. Penulis kitab ini menukil keterangan Syaikh Abdur Rahman al Wakil perihal taubat al Ghazali yang berbunyi : “As Subki berupaya membebaskan peran al Ghazali (dalam aqidah ini) dengan dalihnya, bahwa ia (al Ghazali) menyibukkan diri dengan al Kitab dan as Sunnah di akhir hayatnya. Namun demikian, kaum Muslimin harus tetap diperingatkan dari warisan-warisan pemikiran al Ghazali yang terdapat pada kitab-kitab karyanya". Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 52. Pembahasan tentang Imam al Ghazali, pernah kami angkat pada edisi 7/Th. VI/1423H/2002M).

Jalaluddin ar Rumi, penyair dari Persia (Iran) ini, dalam kumpulan puisinya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab, ia mengatakan:

"Bila di dunia ini ada orang mukmin, orang kafir atau pendeta Nashrani, maka aku adalah dia.
Aku hanya punya satu tempat ibadah, baik itu masjid, gereja ataupun candi".

(Dinukil dari Da’watut Taqrib (1/388-389)).

D. Wihdatul Ad-Yan (Penyatuan Agama-Agama) Salah Satu Konsekwensi Dari Wihdatul Wujud

Dengan pemikiran yang telah dipaparkan di atas, keyakinan Wihdatul Wujud, juga melahirkan wacana, yang kini telah digagas para pengekornya, yaitu usaha untuk mempersatukan agama-agama. Sebuah anggapan bahwa semua agama adalah benar, memiliki tujuan yang sama. Yaitu menyembah tuhan yang sama, hanya berbeda dalam cara. Pandangan sesat seperti ini, tidak diragukan lagi merupakan kekufuran yang sangat nyata.

(Mauqifu Ibnil Qayyim, halaman 141; Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 93; Da’watut Taqrib, 1/381-405).

Tak ayal, pemikiran ini mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari kalangan Orientalis dan musuh-musuh Islam lainnya. Karena, pada gilirannya berarti semua keyakinan adalah benar, tidak ada perbedaan antar-manusia. Seluruh agama kembali kepada satu keyakinan, karena semuanya jelmaan dari Tuhan.

Dikatakan oleh Allen Nicholson, diantara konsekwensi pemikiran wihdatul wujud, yaitu pernyataan mereka tentang kebenaran semua aqidah dalam agama-agama, apapun bentuknya.

Lebih jauh ia mengatakan : "Sebenarnya al Ghazali lebih toleran terhadap sebagian sufi Wihdatul Wujud, semisal Ibnu ‘Arabi dan lain-lainnya dari kalangan sekte sufi yang menjadi kawan-kawan kami dalam agama liberal itu, dengan seluruh maknanya".

(Fit Tashawuf al Islami, Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah, 50).

Sudah pasti Islam berlepas diri dari pemikiran yang sangat menyimpang ini. Pemikiran ini telah mencampur-adukkan antara yang benar dan batil. Sehingga dapat menyebabkan hilangnya identitas kaum Muslimin, meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan jihad di jalan Allah.

Oleh karena itu, kaum Orientalis memberikan perhatian yang besar terhadap keyakinan rusak ini. Yaitu dengan lebih memperdalam mengkaji tentang tashawwuf. Karena, tashawwuf ini mendukung sebagian tujuan mereka. yakni untuk melupakan kaum Muslimin dengan ajaranya, dan juga unutk memecah-belah kaum Muslimin. Dengan pemikiran Wihdatul Wujud, orang-orang Orientalis merasa memiliki sarana yang tepat untuk menyebarkan berbagai kekufuran.

E. Kisah Orang Yang Bertaubat Dari Aqidah Ibnu 'Arabi

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengisahkan :

"Ada seseorang yang tsiqah (terpercaya) telah bertaubat dari mereka. Ketika ia mengetahui rahasia-rahasia mereka, maka ada (penganut wihdatul wujud) yang membacakan buku Fushul Hikam karya Ibnu ‘Arabi.

Orang yang tsiqah ini berkata : "Bukankah ini menyelisihi al Qur`an”.
Orang itu menjawab,"Memang al Qur`an semuanya berisi kesyirikan. Tauhid hanya ada pada pernyataan kami saja,"

Maka ia (orang yang tsiqah ini) kembali bertanya : "Kalau semua itu sama saja, mengapa putrimu diharamkan atasku, sementara istriku halal untukku?".
Orang itu menjawab,"Dalam pandangan kami, tidak ada bedanya antara istri dan anak perempuan. Semua halal (untuk dinikmati)."

(Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 247)
.
Itulah sekilas tentang pemikiran Wihdatul Wujud. Masih banyak fakta-fakta sesat lainnya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pemikir ini. Bisa dijumpai dalam kitab-kitab yang mengkritisi alirah tashawwuf secara umum. Sebagian sudah ada yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Tema ini diketengahkan, supaya seorang muslim sadar dan berhati-hati terhadap aqidah yang sesat ini.

Wallahul hadi ila shirathil mustaqim.


Maraji : 

* Ar Risalah ash Shafadiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H), tahqiq Abu Abdillah Sayyid bin 'Abbas al Hulaimi dan Abu Mu'adz Aiman bin 'Arif ad Dimasyqi, Adhwau as salaf, Riyadh, Cetakan I, Th. 1423H.
* Bayanu Mauqifi Ibnil Qayyim min Ba’dhil Firaq, Dr. ‘Awwad bin Abdullah al Mu’tiq, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, Cetakan, III, Th. 1419H.
* Da’watut-Taqribi Bainal Ad-yan, Dr. Ahmad bin Abdir Rahman bin ‘Utsman al Qadhi, Darul Ibnil Jauzi, Dammam, Cetakan I, Th. 1422H.
* Firaq Mu’ashirah Tantasibu Ilal Islam, Dr. Ghalib ‘Awaji. Al Maktabah al 'Ashriyyah adz Dzahabiyyah Jeddah. Cet. V. Th. 1426 H – 2005 M.
* Hadzihi Hiyash Shufiyah, Abdur Rahman al Wakil, tanpa penerbit dan tahun.
* Syarhul ‘Aqidatith-Thahawiyah, ‘Allamah Ibnu Abil ‘Izz al Hanafi, tahqiq sejumlah ulama, takhrij Syaikh al Albani, al Maktabul Islami, Beirut, Cetakan IX, Th. 1408H.
* Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, tanpa penerbit dan tahun
* Fiqhul Ad‘iyati Wal Adzkar, karya Asy-Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, tanpa penerbit dan tahun


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M {dengan sedikit penambahan}].



Bogor, Jawa Barat
3 Dzulqo'dah 1434 H


Di Salin oleh
Belajar Islam



Artikel: Belajar Islam dan Al-Quran dan Sunnah

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Subhat-Subhat Kaum Sufi

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter