21 Februari 2014

Gunakan Akal Sebagaimana Mestinya


بسم الله الرحمن الرحيم

Gunakan Akal Sebagaimana Mestinya


Allah memberikan manusia akal untuk berfikir, memikirian ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, kebesaran Allah Subhanahu wa Ta'ala, kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, mentadabburi ayat-ayatNya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَذِكْرَىٰ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

"...Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal." (QS.  shadaqah : 43)

Serta begitu banyak penyebutan akal  dan anjuran berfikir dalam Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aqqul dan lainnya.

Seperti kalimat seperti "la'allakum tatafakkaruun" (mudah-mudahan kamu berfikir), atau "afalaa ta'qiluun" (apakah kamu tidak berakal), atau "afalaa yatadabbaruuna Al-Qur'ana" (apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.

Ayat yang senada diatas merupakan perintah Allah untuk kita memikirkan kandungan al-Qur'an, mentadabburinya,menyimak serta merenungkan isinya.

Akan tetapi banyak orang-orang yang jatuh dalam kesalahan, mereka membaca al-Qur'an dan menafsirkannya dengan ra'yu mereka semata.

Kebanyakan dari mereka berhujjah dengan tujuan penciptaan akal adalah untuk memikirkan ayat-ayat Allah.

Padahal Rasulullah shalallahu ' alaihi wa sallam telah bersabda:

"Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka"
(HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho'if)

Bahkan para ulama sangatlah berhati-hati dalam hal ini,

Ibnu Katsir mengatakan, "Menafsirkan Al-Qur'an dengan logika semata, hukumnya haram." (Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 1: 11)

Asy Sya'bi berkata

"Demi Allah, tidaklah satu pun melainkan telah kutanyakan, namun (berhati-hatilah dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an), karena ayat tersebut adalah riwayat dari Allah." ( Tafsir Al-Qur'an Al 'Azhim, 1: 16. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, sanadnya shahih).

Akal Membutuhkan Cahaya Al-Qur'an dan As-Sunnah

Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al Qur'an, akal tidaklah bisa berdiri sendiri tanpa bimbingan dalil syar'i.  Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar'i sebagai acuan.

Sebagaimana penjelasan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

"Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al-Qur'an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu." (Majmu' Fatawa, 3/338-339)

Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Cara Menafsirkan Al Qur'an
  • 1. Menafsirkan Al Qur'an dengan Al Qur'an. 
  • 2. Menafsirkan Al Qur'an dengan sunnah atau hadits.
  • 3. Menafsirkan Al Qur'an dengan perkataan sahabat karena mereka lebih tahu maksud ayat. Seperti ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud radhiallahu'anhum
  • 4. Apabila suatu ayat tidak di temukan tafsirnya dengan ketiga cara diatas maka barulah di tafsirkan dengan perkataan tabi'in seperti : Mujahid bin Jabr, Sa'id bin Jubair, 'Ikrimah, 'Atho' bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Masruq bin Al Ajda', Sa'id bin Al Musayyib, Abul 'Aliyah, Ar Robi' bin Anas, Qotadah, dan Adh Dhohak bin Muzahim.
  • 5. Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Al-Qur'an dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Al-Qur'an semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram."(Lihat Tafsir Al-Qur'an Al 'Azhim karya Ibnu Katsir, 1: 4- 5)


Berkata tentang Allah tanpa ilmu

Imam Ali bin Abil 'Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata:

"Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa nafsunya, dan Allah telah berfirman:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ الله
ِ
'Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun' (Al-Qashshash:50)'
(Dari Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullyoh bin Baaz rahimahullah berkata:

"Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Allah mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya." (Dari catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah 'Ala Ma Ihtawat 'alaihi Al-'aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim)




Sumber:
● Tafsir Al-Qur'an Al 'Azhim karya Ibnu Katsir
● Berbagai Sumber Lainnya

Dikutip oleh:

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Gunakan Akal Sebagaimana Mestinya

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter