05 Maret 2014

Makanan Acara Kematian

Bismillahirrahmanirrahim

Makanan Acara Kematian 


Teks Hadits 


عن عبد لله بن جعفر قال لما جاء نعى جعفر قال النبي صلى لله عليه وسلم ( اصنعوا لأهل جعفر طعا ما فإنه قد جاءهم ما يشغلهم)

Dari Abdullah bin Ja'far radhiyallahu'anhu tatkala kabar kematian Ja'far radhiyallahu'anhu, sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: "Buatkan makanan untuk keluarga ja'far karena saat ini ada sesuatu yang menyibukkan mereka. " (HR. At-Tirmidzi no. 1014 dll. Dan at-Tirmidzi menilai hadits ini hadits hasan)

Syarah Hadits

Setelah membawakan hadits di atas, At-Tirmizi mengatakan:

وقد كان بعض أهل العفم يستحب أن يو جه إلى أهل الميت شىء لشغلهم با لمصيبة وهو قول الشافعي

"Sebagian ulama menganjurkan agar ada suatu makanan yang dikirimkan kepada keluarga mayit karena saat ini mereka sibuk dengan musibah yang terjadi. Ini adalah pendapat al-Imam as-syafi'i. "

Ja'far bin Abu Thalib radhiallahu’ahu itu gugur sebagai syahid di daerah Mu'tah. Mu'tah adalah nama suatu tempat di negeri Yordania.  Tidak sebagaimana anggapan al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 4/77 yang mengira bahwa Mu'tah adalah nama suatu tempat di daerah Tabuk.

Ketika menjelaskan hadits di atas, al-Mubarakfuri mengatakan:
"Maksud hadits, saat ini kesedihan menghinggapi mereka. Kesedihan inilah yang menghalangi mereka untuk bisa menyiapkan makanan bagi diri mereka sendiri. Jika para terangga tidak peduli dengan hal ini maka keluarga mayit mendapatkan kesedihan di samping bahaya fisik karena tidak makan tanpa mereka sadari.

Ath-Thibi mengatakan bahwa hadits di atas menunjukkan bahwa kerabat dan para tetangga dianjurkan untuk menyiapkan makanan bagi keluarga mayit." (Tuhfatul Ahwadzi 4/77)

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma'ad 1/528 mengatakan:
"Di antara ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke kuarga mayit tidak perlu bersusah payah  menyiapkan makanan untuk orang-orang yang datang. Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan para tetangga untuk membuatkan makanan untuk dikirimkan kepada keluarga mayit. Tindakan semacam ini tergolong akhlak yang sangat mulia dan upaya untuk mengurangi beban keluarga mayit karena mereka tersibukkan dengan musibah tersebut sehingga tidak bisa menyiapkan makanan untuk orang-orang yang datang."

Di 'Aridhah Ahwadzi karya Ibnul Arabi al-Maliki disebutkan bahwa hadits di atas adalah dalil dituntunkannya gotong-royong ketika ada kabar kebutuhan yang mengharuskan demikian dan yang sesuai dengan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam para tetangga itu membuatkan makanan untuk keluarga mayit pada' Hari-H 'kematian.

Teks hadits di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa keluarga mayit itu dibuatkan makanan  karena mereka disibukkan dengan adanya musibah sehingga mereka tidak bisa menyiapkan makanan untuk diri mereka sendiri.

Tidaklah termasuk sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam keluarga mayit membuatkan makanan yang disuguhkan kepada orang lain.  Dengan tegas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, "Buatkan makanan untuk keluarga Ja'far." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berkata,"Hendaknya keluarga Ja'far membuatkan makanan untuk orang-orang yang datang."

Sementara itu, acara tujuh hari atau 40 hari kematian itu terlarang karena menyerupai orang-orang Nasrani dalam acara "Khamis al-Amyat" sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha' Shirathal Mustaqim hlm. 213 dst. Disamping ith, acara tersebut tergolong Nihayah(meratapi kematian, pen.)

عن جرير بن عبد لله البجلي قال كنا نعد الا جتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة.

Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu'anhu "Kami menilai acara kumpul-kumpul di tempat keluarga mayit dan membuat makanan setelah jenazah dimakamkan termasuk niyahah." (HR.  Ahmad no. 7084, dan dinilai shahih oleh an-Nawawi dalam Majmu' 5/204 dan al-Bushiri dalam az-Zawa'id)

Asy-Syaukani mengatakan, "Maksud atsar di atas, mereka, para sahabat menilai acara kumpul-kumpul di rumah keluarga mayit setelah jenazah dimakamkan dan menikmati makanan di tempat tersebut adalah memberatkan dan menyibukkan keluarga mayit, padahal mereka dalam kondisi susah karena adanya anggota keluarganya yang meninggal dunia.
Di samping itu, acara tersebut menyelisihi sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam( bahwa ) para tetangga diperintahkan untuk membuatkan makanan untuk keluarga mayit.
Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini diselisihi bahkan mereka bebani keluarga mayit agar menyiapkan makanan untuk orang-orang yang datang.
(Nailul Authar 4/148)

Banyak ulama menegaskan bahwa acara ini tergolong bid'ah.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu' Fatawa 24/316 mengatakan,
"Keluarga mayit membuatkan makanan lantas orang-orang diundang untuk menyantapnya adalah acara yang tidak dituntunkan, bahkan termasuk BID'AH."

Ibnu Humam al-Hanafi dalam Fathul Baari 1/473 mengatakan:

ويكره اتخاد الضيا فة من الطعا م من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشرور، وهي بدعة مستقبحة

"Dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menyiapkan makanan karena jamuan makanan itu dituntunkan dalam acara gembira, bukan acara duka cita.  Bahkan acara ini tergolong bid'ah yang buruk."

واصطنا ع أهل البيت له لأجل اجتماع الناس عليه بد عة مكروهة

Mula Ali Qari al-Hanafi mengatakan: "keluarga mayit membuat makanan untuk acara kumpul-kumpul banyak orang untuk menyantapnya adalah bid'ah yang terlarang. "(Mirqah al-Mafatih 5/494)

Melarang acara kumpul-kumpul ini juga merupakan pendapat para ulama Mazhab Hambali, sebagaimana dalam al-Inshaf 2/565 karya al-Mawardi.

Subhat

Dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, "Kami berangkat bersama Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam ke pemakaman seseorang.  Aku lihat Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam saat berada di pinggir liang lahat berpesan kepada tukang gali, 'Lebarkan galian sisi kaki dan sisi kepalanya.' Setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pulang seusai proses pemakaman, beliau disambut oleh utusan dari istri si mayit yang baru saja dimakamkan dan diajak makan. Beliau menerima tawaran dan Kami ketika itu bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Setelah makanan disajikan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil makanan yang disajikan dan para sahabat pun melakukan hal yang sama. Mereka semua menikmati hidangan yang ada."
(Redaksi hadits ini disebutkan dalam Miskat al-Mashabih no.5942 dan dinisbatkan sebagai hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi dalam Dala'il Nubuwwah)

Sebagian orang beralasan bahwa redaksi hadits ini adalah dalil tegas bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menerima ajakan makan keluarga mayit dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersama para sahabat berkumpul untuk makan setelah proses pemakaman selesai.

Bagaimana cara mengkompromikan atsar dari Jarir radhiyallahu'anhu dengan teks hadits ini?

Jawabannya telah disampaikan oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 4/78,
"Dalam redaksi kitab al-Miskat di jumpai kata-kata"da'i imra'atihi", istrinya yaitu istri dari di mayit. Ini adalah redaksi yang tidak benar. Teks hadits yang benar itu hanya mengatakan "imra'ah", seorang perempuan. "
Di Aunul Ma'bud disebutkan bahwa di semua buku hadits hanya mengatakan ' imra'ah '. Hanya dalam kitab al-Miskat dijumpai ' da'i imra'atihi."

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh imam  Ahmad dengan menggunakan kata-kata Imra'ah, seorang perempuan dari suku Quraisy.

Alhasil, penulis kitab al-Miskat Salah Tulis ketika menulis hadits di atas. Sebab itu, tidak ada pertentangan antara atsar Jarir radhiyallahu'anhu dengan hadits di atas karena perempuan yang mengundang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk makan tidak punya kaitan dengan si mayit yang baru saja di makamkan?


Oleh:
Ustadz Aris Munandar hafizhahullah
(Dari majalah al-Furqon edisi 4, tahun ketigabelas hlm.13-14)

Disalin oleh:
Radinal Maasy(Ibnu Abdillah)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Makanan Acara Kematian

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter