11 Agustus 2013

Bagaimana Sejarah Munculnya Alat Tasbih? dan Bagaiman Alat Tersebut Bisa Masuk ke Dunia Islam, Hingga Kemudian Menjadi Bagian Ritual Ibadah Kaum Muslim?

بســـــــــــــــم الله لرحن الرحــــــــــــــم

Bagaimana Sejarah Munculnya Alat Tasbih? dan Bagaiman Alat Tersebut Bisa Masuk ke Dunia Islam, Hingga Kemudian Menjadi Bagian Ritual Ibadah Kaum Muslim?

Alat tasbih memiliki sejarah yang sangat panjang (1).
Syaikh Bakr Abu Dzaid menyebutkan, bahwa tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800M orang-orang Budha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu juga Al Barahimah di India, pendeta Kristen dan Rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke benua Asia. Beliau juga mengutip sejarah tasbih yang dimuat di Al Mausu’at Al Arabiyah Al ‘Alamiyah, 23/157, ringkasannya sebagai berikut:

Orang-orang Katolik menggunakan limapuluh biji tasbih kecil yang dibagi empat yang diberi pemisah dengan biji tasbih besar dengan jumlah yang sama. Juga dijadikan sebagai kalung yang terdiri dari dua biji besar dan tiga biji kecil, kemudian “matanya” dibuat dengan tanda salib. Mereka membaca puji Tuhan dengan biji tasbih yang besar, dan membaca pujian Maryamiyah dengan biji tasbih yang kecil.

Orang-orang Budha diyakini sebagai orang yang pertama menggunakan tasbih untuk menyelaraskan antara perbuatan dan ucapannya ketika sedang melakukan persembahyangan. Juga dilakukan oleh orang-orang Hindu di India, dan dipraktikkan oleh orang-orang Kristen pada abad pertengahan.

Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15 M dan 16 M. Dalam kitab Musaahamatul Hindi disebutkan, bahwa orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga menghitung dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Sudah disepakati oleh ahli sejarah, bahwa orang-orang Arab Jahiliyah tidak mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka. Itulah sebabnya, satu pun tidak ada syair jahiliyah yang menyebutkan kalimat tasbih. Ia merupakan istilah yang mu’arrabah (diarabkan). Begitu juga pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka tidak mengenal istilah tasbih, apalagi menggunakannya. Hal ini berlangsung sampai akhir masa tabi’in. Jika mendapatkan sebuah hadits yang memuat lafadz “subhah” jangan sekali-kali membayangkan, bahwa makna lafadz tersebut adalah alat tasbih, seperti yang dipakai oleh orang sekarang ini. Karena, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara dengan sahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka pahami dan ketahui. Sedangkan tasbih -seperti yang beredar sekarang ini- tidak dikenal oleh sahabat dan juga tabi’in.

Ketika pada akhir masa tabi’in ada orang yang menghitung dzikirnya dengan kerikil atau biji korma (tanpa dirangkai), maka para sahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud mengingkari dan melarangnya dengan keras; menganggapnya melakukan perbuatan bid’ah yang besar. Begitu pula yang dilakukan oleh Ibrahim An Nakhai, seorang tabi’in senior, telah melarang puterinya melakukan perbuatan seperti itu, sebagaimana sebelumnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingkari Shafiyah dan memberitahukannya perbuatan yang lebih baik dan afdhal

Banyak atsar sahabat dan tabi’in yang menunjukkan, bahwa mereka mengingkari orang yang menggunakan bijian atau kerikil untuk menghitung dzikirnya. Diantara atsar tersebut ialah:

- Atsar Aisyah, yaitu ketika melihat seorang wanita dari Bani Kulaib yang menghitung dzikirnya dengan bijian. Aisyah berkata,”Mana jarimu?”(Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no. 7657)

- Atsar Abdullah bin Mas’ud, dari Ibrahim berkata:

"Abdullah bin Mas’ud membenci hitungan (dengan tasbih) dan berkata,”Apakah mereka menyebut-nyebut kebaikannya di hadaan Allah?” (Ibnu Waddaah Al Qurthub dalam kitab Al Bida’ wa An Nahyu ‘Anha, hlm. 12)

- Atsar dari Ash Shalat bin Bahram, berkata: Ibnu Mas’ud melihat seorang wanita yang bertasbih dengan menggunakan subhah, kemudian beliau memotong tasbihnya dan membuangnya. Beliau juga melewati seorang laki-laki yang bertasbih menggunakan kerikil, kemudian memukulnya dengan kakinya dan berkata,”Kamu telah mendahului (Rasulullah) dengan melakukan bid’ah yang dzalim, dan kamu lebih tahu dari para sahabatnya.” (Ibnu Waddaah Al Qurthubi dalam kitab Al Bida’ Wa An Nahyu ‘Anha, hlm. 11)

- Atsar dari Sayyar Abi Al Hakam, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud menceritakan tentang orang-orang Kufah yang bertasbih dengan kerikil di dalam masjid. Kemudian beliau mendatanginya dan menaruh kerikil di kantong mereka, dan mereka dikeluarkan dari masjid. Beliau berkata,”Kamu telah melakukan bid’ah yang zhalim dan telah melebihi ilmunya para sahabat Nabi.” (Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no. 7667 dengan sanad yang shahih. )

- Atsar dari Amru bin Yahya; dia menceritakan pengingkaran Abdullah bin Mas’ud terhadap halaqah di masjid Kuffah yang orang-orangnya bertasbih, bertahmid dan bertahlil dengan kerikil. (2)

Adapun yang membawa masuk alat tersebut ke dunia Islam dan yang pertama kali memperkenalkannya ialah kelompok-kelompok thariqat atau tasawuf; disebutkan oleh Sidi Gazalba sebagai hasil kombinasi pemikiran antara Islam dengan Yahudi, Kristen, Manawi, Majusi, Hindu dan Budha serta mistik Pytagoras (3).
Sehingga, sampai sekarang hampir semua kelompok-kelompok thariqat dan pengikut tasawuf menjadikan alat tasbih ini sebagai bagian dari ibadah mereka. Bahkan, tidak jarang pula mengalungkan tasbih di leher, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Hindu, Budha dan Pendeta Kristen; menjadikannya sebagai wasilah (perantara) untuk mengobati orang sakit atau hajat lainnya dengan membasuhnya dan meminum airnya, na’uzubillah. Dapat dipastikan, bahwa kelompok-kelompok yang menjadikan thariqat atau tasawuf sebagai landasan manhajnya, akan menjadikan alat tasbih ini sebagai syiar ibadah mereka.

Ada juga orang yang menggunakannya dengan alasan karena dzikirnya banyak, dan sering lupa atau keliru jumlahnya kalau tidak menggunakan alat tasbih.

Seorang tokoh sufi Al Bannan dalam kitabnya Minhah Ahlul Futuhat Wal Zauq menyebutkan, penggunaan jari tangan hanya dilakukan oleh orang-orang yang dzikirnya sedikit, yaitu seratus atau yang kurang dari itu. Adapun ahlu dzikir wal aurad (istilah untuk mereka yang “banyak dzikirnya” di kalangan sufi dan tharikat), kalau mereka menggunakan jarinya untuk menghitung dzikirnya yang banyak, pasti banyak salahnya dan disibukkan dengan jarinya. Dan inilah hikmah penggunaan tasbih.

Subhanallah. Adakah ketentuan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dzikir muqayyad (terikat dengan waktu, tempat dan jumlah) yang lebih dari seratus? Perintah Allah Jalla Jalaluhu seperti dalam Al Qur’an, artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak." (Al Ahzab:35) dan lainnya, tidak menentukan bentuk dan jumlah tertentu untuk berdzikir.

Jumlah dzikir seperti seratus atau yang kurang dari itu, merupakan ta’abbudiyah (ketentuan dari Rasulullah) yang wajib dipatuhi oleh orang yang mengaku sebagai pengikut Rasulullah. Ibnu Mas’ud menasihatkan, bahwa sedikit dalam sunnah jauh lebih baik daripada banyak namun bid’ah.

Perlulah diingat, janganlah hanya dzikir (kebaikan) yang kita hitung, namun kesalahan yang pernah dilakukan juga perlu dipikirkan, sebagaimana nasihat Umar bin Khattab : Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab”.(bukanlah hadits, tetapi perkataan Umar bin Khattab. Lihat Ibnu Katsir IV/ 414 dan Silsilah Adh Dhaifah, no. 1201)

Artinya, yang harus dihisab (dihitung) ialah semua yang telah kita lakukan, baik berupa kebaikan maupun kejelekan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Jauhilah yang diharamkan. Engkau akan menjadi orang yang paling baik"(Shahihul Jami’, I/ 82 no. 100.)

Orang yang melakukan perbuatan bid’ah sering berdalih, bahwa tidak semua yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya dianggap bid’ah. Misalnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memakai tasbih, bukan berarti itu tidak boleh menggunakannya. Karena mungkin tasbih waktu itu belum ada, atau menggunakan tasbih hanya sebuah sarana agar lebih khusyu’ dalam berdzikir.

Untuk menjawab masalah ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi, salah satu murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menulis bab tersendiri dalam kitabnya Ushul Al Bida’ yang kesimpulannya, bahwa semua ibadah yang tidak pernah disyari’atkan oleh Rasulullah, baik dengan perkataannya dan tidak pernah beliau lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Jalla Jalaluhu adalah bertentangan dengan sunnah. Karena sunnah itu ada yang fi’liyah (dilakukan) dan ada yang tarkiyah (yang tidak dilakukan oleh Rasulullah). Dengan demikian, ibadah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk sunnah yang harus ditinggalkan.

Ketika salah satu dari tiga orang sahabat berjanji untuk melakukan shalat semalam suntuk dan tidak akan tidur, yang lainnya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka, dan yang terakhir tidak mau menikah, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingkarinya dan bersabda, "Demi Allah, sayalah (orang) yang paling takut diantara kalian kepada Allah, dan paling bertaqwa kepadaNya; tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur dan menikahi wanita. Barangsiapa yang benci kepada sunnahku, maka bukan termasuk golonganku." [HR Bukhari Muslim dari Anas bin Malik].

Pada prinsipnya, tiga sahabat tadi melakukan perbuatan yang disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti: berpuasa, iffah (menjaga diri) dan shalat malam, namun dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga beliau mengingkarinya. Hadits di atas sekaligus membantah, bahwa niat yang baik, kalau tidak sesuai dengan sunnah (praktik) Rasulullah, maka tidak akan menjadi sebab suatu amal perbuatan itu diterima di sisi Allah. Ibnu Rajab, dalam kitab Fadl Ilmu Salaf, hlm. 31 menyebutkan, apa yang telah disepakati oleh Salaf untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan; karena mereka tidak meninggalkan sesuatu, kecuali atas dasar ilmu bila sesuatu hal dimaksud tidak boleh diamalkan.

(Sumber:majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M)

Footnote:

(1). Sejarah lengkapnya bisa dibaca di Da’iratul Ma’arif Al Islamiyah, juz 11/233-234; Al Mausu’at Al Arabiyah Al Muyassarah, 1/958; Al Mausu’at Al Arabiyah Al Alamiyah, 23/157; Fatawa Rasyid Ridha, 3/ 435-436, dan lainnya.
(2). Riwayat selengkapnya, lihat Sunan Ad Darimi, Kitabul Muqaddimah, hadits no. 206. Juga disebutkan dalam Tarikh Wasith, Aslam bin Sahl Ar Razzaz Al Wasithi. Syaikh Al Albani menshahihkan sanad hadits ini dalam As Silsilah Ash Shahihah, hadits no. 2005.
(3). Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta, Bulan Bintang, Juli 1991), Cet. Kelima, hlm. 20. Untuk mengetahui hubungan antara tasawuf dengan agama Hindu, Budha dan lainnya, lihat di dua kitab Ihsan Ilahi Dzahir, Mansya’ Wa Al Mashadir; telah diterjemahkan dengan judul Sejarah Hitam Tasawuf Latar Belakang Kesesatan Sufi, oleh Fadhli Bahri, (Jakarta, Darul Falah, 2001), Cet.I. dan Dirasatun Fi At Tashawuf; telah diterjemahkan dengan judul Tasawuf, Bualan Kaum Sufi Ataukah Sebuah Konspirasi? oleh Abu Ihsan Al Atsari, (Jakarta, Darul Haq, 2001), Cet. I.


Pringsewu,Lampung
5 Syawal 1434H

Belajar Islam

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter