بســـــــــــــــم الله الرحمن الرحيـــــــــــــــم
Fikih 'Aqiqah: Makna Sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam: "Setiap Anak Tergadai Dengan 'Aqiqahnya"
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam,bersabda;
كل غلام رهينة بعقيقته تذ بع يوم سا بعه ويحلق ويسمى
"Setiap anak tergadai dengan 'aqiqahnya. Pada hari ketujuh disembelihkan hewan 'aqiqah untuknya, dicukur rambutnya dan diberikan nama."
(HR.Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan lainnya. at-Tirmidzi berkata,"Hadits hasan shahih." syaikh al-Albani rahimahullah berkata,"Shahih". dalam Shahih Sunan an-Nasa'i III/885 dan Irwaa-ul Ghaliil IV/385)
Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan sabda Nabi di atas:
1. Al-Khaththabi berkata, "Ahmad berkata,'.....maksudnya, jika tidak disembelihkan 'aqiqah untuknya, maka anak tersebut tidak akan diizinkan untuk mensyafa'ati orang tuanya...'"
(Ma'aalimus Sunan IV/264-265)
2. Ada yang berpendapat bahwa 'aqiqah itu suatu kemestian yang tidak boleh tidak harus dilakukan. Oleh karena itu maka anak yang dilahirkan diserupakan dengan sesuatu yang tergadai manakala harus ditebus, tapi belum dilaksanakan oleh orang yang menggadaikannya.
At-Turbasyti,mengatakan: Maknanya seperti sesuatu yang digadaikan, maka manfaatnya tidak akan sempurna, selama belum ditebus. Suatu kenikmatan tidak akan sempurna atas orang yang dikaruniai kenikmatan tersebut kecuali apabila disyukuri.
Dan yang menjadikan kebiasaan sebagai bentuk syukur atas kenikmatan dikaruniai anak adalah sebagaimana yang disyari'atkan oleh Rasulullahg shalallahu 'alaihi wasallam, yakni dengan menyembelih 'aqiqah atasnya. Dan selain sebagai rasa syukur, 'aqiqah ini pun sebagai permohonan keselamatan bagi anak tersebut."
(Al- Ihsaan XII/131-132, Fat-hul Baari XII/12, Nailul Authaar V/150)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkaata, " Penafsiran-penafsiran diatas harus direnungkan kembali, kareana tidak samar lagi bahwa syafa'at seorang anak kepada orang tuanya tidak lebih utama daripada sebaliknya. Dan keadaan seseorang sebagai orang tua tidaklah menjadi kemestian untuk mendapatkan syafa'at dari anaknya. Demikian pula hubungan kekerabatan yang lainnya, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu.
Allah Ta'la berfirman;
يأيها الناس اتقواربكم واخشوا يوما لايجزى والد عن ولده، ولالامولود و جاز عن والده، شيئا
"Hai manusia,bertakwalah kepada Rabb-mu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun." (QS.Luqman: 33)
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
واتقوا يومالا تجزى نفس عن نفس شيئا ولا يقبل منها شفعة
"Dan jagalah dirimu dari (adzab) hari (Kiamat,yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at." (QS.Al- Baqarah: 48)
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
من قبل أن يأتى يوم لا بيع فيه ولا خلة ولا شفعة
"Sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at." (QS. Al-Baqarah: 254)
Maka seseorang tidak akan dapat memberikan syafa'at bagi orang lain kecuali setelah diizinkan oleh Allah Ta'ala. Dan syafa'at ini pun hanya dipeuntukan bagi orang yang dikehendaki dan diridhaiNya pula. Sementara itu, izin Allah Subhanahu wa ta'ala dalam syafa'at tergantung kapada amal orang yang di beri syafa'at, berupa tauhid dan keikhlasannya. Juga tergantung kepada kedekatan orang yang memberikan syafa'at kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala serta kedudukannya pada sisiNya. Jadi sama sekali tidak ditentukan oleh hubungan kekerabatan atau hubungan anak dengan orang tuanya.
Sungguh, Penghulu pemberi syafa'at sendiri, yakni Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda kepada paman, bibi dan puterinya:
لاأغني عنكم من الله شيئا
"Aku tidak dapat memberikan kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun."
(Muttafaq 'alaih)
Dalam satu riwayat:
لا أملك لكم من الله شيئا
"Aku tidak memiliki (kekuasaan) apapun untuk (menyelamatkan) kamu dari (siksa) Allah."
Beliau bersabda dalam hadits Syafa'atul 'Uzhma ketika beliau bersujud di hadapan Rabb-nya;
فيحد لي حدا فأد خلهم الجنة
"Lalu Allah membatasi bagiku (orang-orang yang mendapatkan syafa'at), lalu aku memasukan mereka kedalam Surga."
(HR.Al-Bukhari, kitab Tafsiirul Qur'an, bab Qaulullaahi; Wa 'allama Aadamal Asmaa-a Kullahaa)
Maka syafa'at beliau shalallahu 'alaihi wasallam ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dari mana dikatakan bahwa seorang anak dapt mensyafa'ati orang tuanya? Dan darimana dikatakan bahwa apabila tidak disembelihkan 'aqiqahnya maka ia tidak dapat mensyafa'ati orang tuanya?...
Yang disebut tergadai adalah orang yang tertahan dari sesuatu, baik tertahannya itu disebabkan oleh perbuatan dia sendiri, maupun disebabkan oleh perbuatan orang lain.
Adapun orang yang tidak dapat mensyafa'ati orang lain, maka ia tidak dapat dikatakan bahwa ia tergadaikan dengan mutlak. Akan tetapi yang tergadai itu adalah orang yang tertahan karena sesuatu perkara yang seharusnya dapat ia capai. Dan tidak mesti hal tersebut harus disebabkan oleh dirinya sendiri, akan tetapi kadang-kadang disebabkab oleh perbuatan orang lain.
Dan Allah subhanahu wa ta'ala telah menjadikan an-Nasiikah ('aqiqah) sebagai tebusan ketergadaian seorang anak. Yakni, 'aqiqah itu berfungsi untuk melepaskan si anak yang tertahan oleh syaitan yang melekat sejak ia keluar dari rahim ibunya ke alam dunia ini, dan dari tikaman syaitan pada pusarnya. Jadi, 'aqiqah berfungsi sebagai tebusan dan pembebas si anak dari tahanan syaitan, penjaranya, dan tawanannya. Juga sebagai pencegah dari upaya syaitan yang menghalanginya dari kebaikan-kebaikan akhiratnya yang menjadi tempat kembalinya si anak.
Seakan-akan si anak tertahan untuk disembelih syaitan dengan pisau yang ia sediakan bagi para pengikut dan kekasih-kekasinya. Dan syaitan telah bersumpah kepada Rabb-nya untuk menggoda anak keturunan Nabi Adam, kecuali sebagian kecil saja dari mereka. Oleh karena itu, syaitan selalu memata-matai kelahiran seorang anak keduania ini. Ketika ia lahir dari rahim ibu, maka ia bersegera untuk memeluknya. Syaitan sangat berambisi untuk menjadikan anak itu dalam genggamannya, di bawah pengaruhnya, dan menjadi golongan dari kekasih-kekasihnya. Ia sangat berambisi untuk mencapai kondisi seperti ini......
Manakala seorang anak menghadapi ketergadaian seperti ini, maka Allah Ta'al mensyari'atkan 'aqiqah kepada kedua orang tuanya, untuk membebaskan atau menebus anaknya, yakni dengan menyembelih hewan 'aqiqah untuk anaknya. Jika tidak dilakukan maka anak akan tetap dalam keadaan tergadai(tertahan).
Dan oleh sebab itu maka Rasulullah shalallau 'alaihi wasallam bersabda:
مع الغلام عقيقة فأهريقوا عنه دما وأميطوا عنهالاأذى
"Beserta kalahiran seorang anak (disyari'atkan 'aqiqah), maka tumpahkanlah darah utnuk anak itu, dan hilangkanlah yang menganggunya (cukurlah rambutnya)."
(HR. Al-Bukhari, kitab al-'Aqiiqah, bab Imaathatul Adzaa 'Anish Shabiyyi fil 'Aqiiqah,)
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk mengalirkan darah(menyembelih hewan 'aqiqah), yang dapat melepaskan dia dari tahanan syaitan. Seandainya 'aqiqah itu kaitannya dengan orang tua, niscaya beliau shalallahu 'alaihi wasallam akan bersabda," Maka alirkanlah darah untuk kalian(sembelihlah 'Aqiqah untuk kalian), agar kalian terbebas untuk mendapatkan syafa'at dari anak-anak kalian.
Secara zhahir, untuk menebus ketergadaian seorang anak, maka beliau shalallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk menghilangkan gangguan (rambut). Adapun secara bathin, beliau memerintahkan untuk mengalirkan darah(menyembelih). Dengan demikian kita mengetahui bahwa perintah tersebut berfungsi uintuk membebaskan si akan dari gangguan lahir dan gangguan bathin. Hanya Allah yang mengetahui apa yang Dia maksud dan apa yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam."
(Tuhfatul Muduud,hal. 57-59)
(Di sarikan dari kitab,"AHKAAMUL 'AQIIQAH" Karya DR. Hisamuddin bin Musa 'Afana)
oleh; Belajar Islam
Bogor,11 Dzulqodah 1434 H
Belajar Islam
0 komentar:
Posting Komentar
“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]