02 Maret 2014

Bacaan sayyiduna ketika shalat bermasalahkah??

بسم الله الرحمن الرحيم

Bacaan sayyiduna ketika shalat bermasalahkah??

Beradab kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam merupakan kewajiban kita. Namun, bagaimana mewujudkannya? Apakah dengan mengikuti petunjuk beliau shalallahu 'alaihi wa sallam, ataukah dengan memodifikasi sunnah beliau shalallahu 'alaihi wa sallam.
Hagaimana pula dengan bacaan sayyidina dalam shalat??

Teks Hadits

لاتسيدوني في الصلاة

"Janganlah kalian menjadikan aku sayyid dalam shalat."

Hadits ini TIDAK ADA ASALNYA. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama ahli hadits.

Al-Hafizh as-Sakhowi rahimahullah menegaskan: "tidak ada asalnya"(al-Maqoshidul Hasanah hlm. 529)
Dan di setujui murid beliau Abdurrohman bin Ali asy-Syaibani(dalam Tamyiz Thoyyib Minal Khobits hlm. 191), al-Qori (dalam kitab al-Mashnu' fii Ma'arifatil Hadits Maudhu' hlm. 206)

Dan jika di tinjau dari segi bahasa Arab, lafadz hadits ini ada kejanggalan sebab secara kaidah bahasa seharusnya (لا تسو دوني) dengan wawu karena fi'ilnya adalah wawi (ساد- يسود) (Raddul Muhtar 2/224, ibnu abidin)

An-Naji dalam Kanzu al-Afah mengatakan: "Adapun nukilan dari sayyid waro(Nabi)bahwa beliau bersabda: "jangan kalian mengatakan aku sayyid dalam shalat",  maka ini adalah kedustaan dan kepalsuan.
Orang awam yang sering membawakan hadits ini pun salah dalam mengucapkan. Mereka mengatakan لا تسيدوني dengan ya', padahal yang benar adalah dengan wawu" (Kasyful Khofa' 2/476, al-'Ajluni)

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam adalah sayyiduna

Makna sayyid adalah seorang yang utama, mulia, berkedudukan tinggi, pemimpin umat, dan lain sebagainya dari kebaikan dan keutamaan. (Lihat al-Mufhim 6/48, al-Qurtubi)

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam adalah sayyid anak adam. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أنا سيد ولد آدم ولا فخر
"Saya adalaha sayyid anak adam dan tidak sombong. "(HR Muslim 1/2176)

Imam al-Izzu bin Abdussalam rahimahullah berkata:
"Sayyid adalah seorang yang memiliki sifat dan akhlak yang indah.  Hal ini menunjukkan bahwa beliau manusia yang paling utama di dunia dan akhirat.
Adapun di dunia karena beliau memiliki akhlak-akhlak yang agung sedangkan di akhirat karena balasan/pahala bergantung pada akhlak.
Kalau Allah melebihkan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam dari segenap manusia pada sisi akhlak, maka kelak Allah Ta'ala melebihkan beliau derajatnya di akhirat.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hadits ini agar umatnya tau kedudukan beliau di sisi Rabbnya. Dan karena penyebutan kebaikan itu biasanya menjadi kesombongan, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menepis anggapan yang muncul dari orang jahil tersebut."(Bidayatus Su'ul fii Tafdil Rasul hlm.34,tahqiq al-albani)

Lantas bagaimana dengan teks hadits:

"Dari Muthoririf berkata: 'ayahku mengatakan: 'saya pernah pergi le rombongan Bani Amir kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, lalu kami mengatakan: Kamu adalah Sayyiduna, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "as-Sayyid adalah Allah. Kami mengatakan: kamu adalah orang yang paling mulia di antara kami, maka beliau bersabda: ' katakanlah dengan ucapan kalian atau sebagian ucapan kalian tetapi janganlah Setan menggelincirkan kalian"(HR.  Abu Dawud 4808)

Dzohir hadits ini melarang kita mengatakan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam adalah Sayyiduna.  Bukankah sekilas ada pertentangan antara dua hadits di atas
Masalah ini telah dibahas oleh para ulama. Pendapat yang kuat menurut kami bahwa boleh mengatakan Sayyid kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam atau selainnya (lihat al-'Urfu an-Nadi oleh asy-Syaukani, Bada'ul Fqwaid 3/213 oleh ibnu Al-Qayyim)

Adapun hadits ini, tidaklah menunjukkan larangan mengatakan Nabi shallallahu ' alaihi wa sallam adalah sayyiduna,  bahkan beliau mengizinkan dengan ucapannya " katakanlah dengan ucapan kalian".

Yang dilarang adalah kalau setan menggelincirkan mereka yang berujung kepada sikap ghulu( berlebih-lebihan) kepada Nabi shallallahu ' alaihi wa sallam dan mengingatkan beliau dari derajat yang telah ditetapkan Allah Ta'ala.(al-'Urfu an-Nadi fii Jawaz Ithlaq Lafdzi Sayyid -Fathur Rabbani- 11/5649 oleh asy-Syaukani)

Lafazh Dzikir Adalah Tauqifiyyah

Dzikir-dzikir yang telah ditentukan waktunya dan tempatnya bersifat tauqifiyyah(paten). Tidak boleh menambah, mengurangi, atau merubah lafzhnya walaupun maknanya shohih 
(lihat penjelasan lebih rinci dalam Tashih Dua' hlm. 41-42 oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dan Ahkamul Adzkar hlm. 7 oleh Zakariyya Ghulam al-Bakistani)

Untuk lebih memahami kaidah ini, perhatikanlah hadits ini:

"Baro' bin Azib berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku: 'Apabila engkau mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah seperti  wudhumu untuk shalat. Kemudian berbaringlah ke sisi kanan serta bacalah do'a:" ya Allah aku berserah diri kepada-Mu, aku serahkan segala urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu, karena mengharap  dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat bersandar dan tempat menyelamatkan kecuali kepada-Mu. Ya Allah aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus'. Maka jika engkau  meninggal pada malam harinya sungguh engkau meninggal dalam keadaan fitroh dan jadikanlah do'a tersebut akhir yang engkau ucapkan.
Aku coba untuk mengingat-ingatnya kembali dan aku katakan: 'Rasul-Mu yang telah Engkau utus.' Nabi berkata:'Salah, tapi katakanlah dan Nabi-Mu yang telah Engkau utus'."
(HR. Bukhori 247, Muslim 2710)
(Lihat faedah-faedah berharga hadits ini dalam kitab Min Kulli Surotin Faedah hlm. 55-62 oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Romadhani)

Ibnu bathol rahimahullah berkata: "Lafazh-lafazh itu tidak boleh diganti karena telah keluar dari taman hikmah dan jawami'ul kalim(kalimat singkat tapi padat). Seandainya ucapan Nabi shallallahu ' alaihi wa sallam boleh dirubah dengan ucapan lainnya niscaya akan hilang faedah dan kehebatan bahasa Nabi shallallahu ' alaihi wa sallam"
(Syarh Shohih Bukhori dalam 1/365)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Hikmah yang paling tepat mengapa Nabi menyalahkan ucapan rosul sebagai ganti Nabi adalah bahwa Lafazh-lafazh dzikir adalah Tauqifiyyah.  Ada kekhususan yang tidak boleh dengan qiyas. Wajib untuk menjaga lafadz yang syar'i. "
(Fathul Bari 11/114)

Imam al-Albani rahimahullah mengatakan: "dalam hadits ini terdapat peringatan yang sangat tegas, bahwa wirid-wirid dan dzikir adalah Tauqifiyyah.  Tidak boleh dirubah, baik dengan menambah, mengurangi atau merubah lafadz yang tidak merubah arti. Karena lafadz Rosul lebih umum dari Nabi, tetapi Rosululloh shalallahu ' alaihi wa sallam tetap menyalahkannya."
(Shohih at-Targhib wat Tarhib 1/388)

Menambah 'Sayyiduna' Dalam Shalat

Al-Munawi rahimahullah berkata:
"Adapun menyebut Sayyidina dalam sholawat, maka hal ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala para sahabat bertanya kepada beliau tentang tata caranya, lalu beliau shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab:"katakanlah Allahumma Sholli 'ala Muhammad' tanpa menyebut Sayyidina"

Oleh karenanya, Ibnu Abdussalam ragu-ragu.  Apakah yang lebih utama menyebut sayyidina sebagai bentuk adab kepada Nabi atau tidak menyebut sayyidina karena mengikuti dalil yang ada.

Sebagian mereka menguatkan pendapat yang kedua yaitu mencukupkan dengan lafadz yang ada, tanpa menambahinya. Sebagian lagi merinci, apabila dalam lafadz sholawat yang sudah ada contohnya tidak boleh di tambahi, apabila membuat sholawat sendiri tanpa lafadz yang sudah ada contohnya maka boleh menambahinya."
(Al-Yawaqit wa Duror 1/199-200)

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
"Pembaca memperhatikan bahwa tidak ada satupun lafadz tambahan sayyid pada hadits-hadits sholawat ketika shalat.  Oleh karenanya, para ulama belakangan berselisih apakah tambahan tersebut disyari'atkan dalam sholawat ibrohimiyyah.
[Para ahli fikih madzhab Hanafiyyah dan Syafi'iyyah belakangan berpendapat bahwa tambahan sayyidina dalan shalat adalah sunnah dengan alasan adab kepada Rasulullah. (Lihat Raddul Muhtar 2/224 oleh Ibnu Abidin, Hasyiyah al-Bajuri 1/156, argumentasi Ulama Syafi'iyyah hlm. 208 oleh Ustadz.  Mujiburrahman)]

Saya akan nukilkan fatwa penting dari Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah karena beliau adalah termasuk ulama Syafi'i yang ahli di bidang hadits dan fiqih.

Al-Hafizh Muhammad bin Muhammad al-Ghorobili (murid Ibnu Hajar) berkata: "Beliau (ibnu Hajar) ditanya tentang sifat sholawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sholat atau di luar sholat. Apakah di syari'atkan mengucapkan sayyidina ataukah tidak dan manakah yang lebih utama?
Beliau menjawab: "mengikuti atsar-atsar yang datang adalah lebih utama, jangan dikatakan: Barangkali Nabi shallallahu ' alaihi wa sallam meninggalkan hal ini karena sikap tawadhu' beliau. Karena kita katakan bahwa seandainya hal itu disunnahkan niscaya hal itu akan di nukil dari para shahabat dan tabi'in, dan kami tidak mendapatkannya atsar dari shahabat dan tabi'in tentang hal ini.

Demikian pendapat al-Imam as-syafi'i (semoga Allah meninggikan derajatnya) dan ia adalah orang yang lebih mengagungkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Di dalam khutbahnya yang termuat di dalam kitab Al-Umm dan merupakan pegangan utama pengikut madzhab-nya, beliau berkata:"Allahumma Sholli 'ala Muhammad. ..." dan tidak berkata "Allahumma Sholli 'ala sayyidina Muhammad. .."

Al-Qodhi Iyad rahimahullah membuat suatu Bab  tentang sholawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kitabnya Asy-Syifa'. Beliau menyebutkan atsar-atsar yang banyak sekali dari sahabat dan tabi'in, tetapi tidak ada satupun tambahan sayyidina.

Seandainya hal itu sunnah niscaya tidak akan samar dan tidak dilalaikan oleh mereka semua, dan kebaikan itu adalah dalam ittiba. Wallahu A'lam"

Apa yang di fatwakan oleh al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah adalah kebenaran yang harus di pegang.
Oleh karena itu Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam ar-Rudhoh 1/265: "Lafadz sholawat yang paling utama adalah : Allahumma Sholli 'Ala Muhammad. ... tanpa menyebutkan sayyiduna.

Kita yakin bahwa Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam adalah Sayyiduna, tapi yang menjadi pembahasan adalah bolehkah menambahi lafadz dalam sholawat yang tidak ada conyohnya? Seandainya tambahan itu termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah Ta'ala, tentu akan disampaikan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan para salaf.

Kita mengetahui bahwa Salafush Sholih dari kalangan sahabat dan tabi'in tidaklah beribadah kepada Allah Ta'ala dengan mengucapkan 'Sayyidina' di dalam shalat.
Padahal mereka pasti lebih menghormati Nabi shallallahu 'alaihi wa Sallam daripada kita, dan lebih mencintainya.

Dan perbedaan antara mereka dan kita bahwa kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah benar-benar dipraktikkan dengan Ittiba' kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Wallahu A'lam


Oleh:
Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi Hafidhahullah
(Dari majalah al-Furqon edisi 11 tahun kesembilan Jumadats-Tsani 1431 hlm. 11-13)

Disalin oleh:
Radinal Maasy (Ibnu Abdillah )


Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Bacaan sayyiduna ketika shalat bermasalahkah??

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter