08 Maret 2014

Ibadah Kurban

Bismillahirrahmanirrahim


Mengusapkan Darah Sembelihan ke Badan Binatang

Ada sebuah kebiasaan yang sering dilakukan oleh para penyembelih binatang kurban, yaitu setelah menyembelih leher binatang dengan pisau, lalu pisau yang berlumuran darah itu diusapkan ke badan hewan yang telah disembelih.

Jika yang dilakukan itu hanya kebiasaan semata, atau dilakukan dengan maksud membersihkan darah bekas sembelihan yang ada di pisau, maka tidak ada masalah.  Akan tetapi, jika ada suatu KEYAKINAN yang mendasari perbuatan ini, dan manganggap perbuatan ini lebih baik daripada ditinggalkan, atau menyakini ini termasuk sunnah, maka perbuatan ini menjadi bid'ah dalam agama.

Lajnah Da'imah ditanya hukum mengusapkan darah ke badan hewan dengan keyakinan bahwa ini adalah perbuatan para sahabat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, maka lajnah menjawab :"Mengusapkan darah kebadan hewan sembelihan, kami tidak mengetahui seorang pun dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang melakukannya. Ini adalah termasuk bid'ah sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, " Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dalilnya maka perbuatan itu tertolak', dan dalam suatu riwayat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa berbuat bid'ah dalam agama ini yang tidak termasuk darinya, maka amalan itu tertolak.' (HR. Bukhari dan Muslim)
(Fatawa no. 6667)

Hukum Mewakilkan Kurban

Pemilik binatang kurban menyembelih sendiri sembelihannya jika ia mampu, itulah salah satu yang disunnahkan dalam berkurban sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berkurban.

Anas bin Malik radhiyallahu'anhu menerangkan:

ضحى النبي صلى الله عليه وسلم بكبشين أملحين أقرنين ذبحهما بيده

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih dua ekor domba yang bagus lagi bertanduk.  Beliau menyembelih sendiri dengan tangannya. " (HR. Bukhari: 5139 dan Muslim: 3635)

Akan tetapi, jika ada keperluan maka boleh mewakilkan kepada orang lain. (Lihat Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah syaikh Abdul Aziz bin Baz 6/385, dan asy-Syarhul Mumti' Syarh Zadil Mustaqni', Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin 7/458)

Sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam pernah mewakilkan sembelihannya kepada sahabatnya.  Dalam sebuah hadits yang panjang, tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggiring unta-untanya menuju Makkah untuk disembelih.

Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhu mengatakan:

فنحر ثلاثا وستين بيده ثم أعطى عليا فنحرما غبر

"Makan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menyembelih dengan tangannya sendiri 63 ekor(dari 100 ekor untanya),kemudian menyerahkan sisanya kepada Ali Radhiyallahu'anhu untuk disembelih. "(HR. Muslim: 2137)


Sapi Atau Kambing Yang Lebih Utama?

Urutan yang paling afdal dalam berkurban masih di perselisihkan oleh para ulama. Sebagian mengatakan kambing lebih utama kemudian sapi urutan kedua dan unta urutan ketiga; pendapat ini adalah pendapat Imam Malik, di landasi oleh kebanyakan kurbannya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan kambing/domba.

Sementara itu, pendapat yang lain mengatakan bahwa unta lebih utama jika mampu, lalu urutan kedua sapi, dan kambing. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi'i.
Pendapat ini di landasi beberapa dalil, di antaranya:

  • 1. Urutan binatang kurban dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang keutamaan berpagi-pagi mendatangi shalat Jum'at dimulai dengan Unta,lalu Sapi, kemudian Kambing.


  • Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Nabi Shallallahu ' alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mandi pada hari Jum'at, kemudian pergi (shalat Jum'at) pada saat pertama maka seakan-akan ia berkurban unta, barangsiapa pergi pada saat kedua maka seakan-akan ia berkurban seekor sapi, barangsiapa pergi pada saat ketiga maka seakan-akan ia berkurban seekor kambing...."(HR. Bukhori: 832 dan Muslim: 1403)
  • 2. Binatang onta lebih besar, lebih mahal dan lebih banyak dagingnya sehingga lebih bermanfaat buat kaum muslimin. 

  • 3. Adapun kondisi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berkurban dengan kambing/domba, maka ini dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meringankan umatnya karena tidak semua orang mempunyai unta, tetapi banyak manusia memiliki kambing.


Arisan Kurban

Jika seseorang mengikuti arisan kurban maka ketika mendapat bagian arisannya dia segera berkurban dan mengangsur sisa biaya kurbannya sampai lunas. Jika demikian maka berarti sama dengan berutang untuk kurban.  Adapun kemungkinan baginya mendapat bagian yang paling akhir sehingga sama dengan menabung, maka ini adalah kemungkinan yang sangat kecil.

Dalam Islam, tidak pernah ada anjuran berutang untuk menjalankan perintah agama baik untuk yang sunnah maupun wajib; sama halnya dengan hal itu adalah berutang untuk haji.

Syaikh Ibnu Utsaimin ketika ditanya tentang orang yang berutang untuk suatu kewajiban seperti ibadah haji, beliau menjawab, "sebaiknya dia tidak melakukan hal itu, karena manusia tidak wajib menunaikan haji jika memiliki tanggungan utang, bagaimanakah jika berutang untuk pergi haji(lebih tidak wajib lagi). Maka aku tidak menyarankan berutang untuk haji, karena haji tidak wajib jika kondisinya seperti ini (belum mampu); dan oleh karenanya, sebaiknya dia menerima rukhshah(keringanan) dari Allah dan keluasan rahmat-Nya, dan tidak boleh membebani diri dengan berutang padahal dia belum tentu bisa melunasinya.  Bisa saja dia mati sehingga tidak dapat melunasi tanggungan utangnya"
(Majmu' Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 21/93)

Daging Kurban Untuk Orang Kafir

Lajnah Da'imah (Fatawa no.1997) ketika ditanya masalah ini juga menjawab:
"Boleh memberikan daging kurban untuk orang kafir mu'ahad dan tawanan yang masih kafir, baik karena mereka miskin,kerabat, tetangga atau sekedar melunakkan hati mereka, karena ibadah kurban itu intinya adalah menyembelihnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan ibadah kepada-Nya.

Adapun dagingnya, maka yang paling afdhal adalah dimakan pemiliknya sepertiga, diberikan kepada kerabat, tetangga, dan sahabatnya sepertiga, kemudian disedekahkan buat fakir miskin sepertiga.

Seandainya pembagiannya tidak rata, atau sebagian yang lain merasa cukup( sehingga yang lain tidak mendapatkan daging kurban) maka tidak mengapa; di dalam permasalahan ini ada keluasan.
Akan tetapi, daging kurban tidak boleh di berikan kepada kafir habi(yang memerangi islam) karena yang wajib(bagi orang Islam) adalah menghinakan dan melemahkan mereka, bukan menolongnya atau menguatkan mereka dengan pemberian(sedekah); demikian pula hukumnya sama dalam sedekah yang bersifat sunnah, sebagaimana keumuman firman Allah Ta'ala:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."(QS. Al-Mumtahanah: 8-9)

Dan juga Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Asma' binti Abu Bakar radhiyallahu'anha untuk selalu menyambung(silaturrahim) dengan ibunya dengan memberinya harta padahal ibunya masih musyrik saat masih dalam perjanjian damai. "(HR. Bukhari 4/126 no.3183)

Berkurban Di Tempat Lain/Negeri Lain Yang Lebih Membutuhkan

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

1. Sebagian membolehkan(dan pendapat ini yang di kuatkan oleh Syaikh Abdullah bin Jibrin, lihat Al-Islam Su'al wa Jawab no.82242)

Dengan catatan jika tempat lain lebih membituhkan; seperti para ulama madzhab Hanafi, madzhab Maliki, dan sebagaimana madzhab Hambali dan Syafi’i membolehkannya, tetapi dengan syarat tidak boleh melampaui jarak musafir.

Alasan pendapat ini, berkurban adalah menghidupkan sunnah, syiar Islam, dan memberikan keluasan kepada kaum muslimin serta membantu mereka dalam hal makanan

Jika di suatu negeri sudah banyak yang berkurban, sedangkan di negeri lain lain sangat membutuhkan maka tetmasuk hikmah adalah mengirimkan hewan kurban ke negeri lain supaya mereka merasakan juga hewan kurban, sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam pernah melarang sahabatnya menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari untuk membantu kaum muslimin yang kelaparan.

Larangan ini kemudian di hapus, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam:
"Barangsiapa berkurban maka jangan tersisa lagi(dagingnya) pagi hari ke tiga di rumahnya sedikitpun." Lalu tatkala tahun berikutnya manusia bertanya," wahai Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, apakah kita melakukan seperti tahun kemarin?" Beliau menjawab, "(sekarang)makanlah, berikan kepada manusia, dan simpanlah, karena pada tahun yang lalu manusia dalam kesulitan(ekonomi), dan aku ingin kalian membantu mereka (dengan daging kurban)"
(HR. Bukhari: 5567, dan Muslim: 1972)

2. Sebagian Lain Melarang.

Seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh al-Fauzan.
Alasan pendapat ini, berkurban adalah syariat yang telah di tentukan tata caranya, bukan hanya masalah membagi daging semata(sebagaimana QS. Al-Hajj: 37). Berkurban di negeri lain menyelisihi sunnah, pemiliknya tidak dapat melaksanakan sunnah makan sebagian dagingnya, dan syi'ar Islam berupa kurban akan hilang di negeri-negeri yang berpenduduk kaya.
(Lihat Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam rekaman kaset Ahkamul Hajj Bagian A, dan majalah ad-Da'wah no. 1878)

Menyatukan pendapat. 

Hendaknya seorang muslim berkurban di tempat tinggalnya, inilah yang lebih utama karena itulah yang biasa di lakukan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Akan tetapi, di bolehkan(Wallahu A'lam)berkurban di tempat lain(negeri lain)dengan syarat jika tempat itu lebih memburuhkan, dan di negeri asalnya tetap di laksanakan ibadah kurban, sehingga Syi'ar islam tetap hidup.

Adapun masalah perintah bagi pemilik untuk makan sebagian dagingnya, maka perintah ini hukumnya bukan wajin melainkan sunnah.

Kurban Online

"Kurban Online" adalah berkurban dengan cara mentransper sejumlah uang sesuai dengan harga hewan kurban yang di sepakati kepada lembaga sosial atau yang semisalnya, lalu lembaga tersebut membelikan hewan kurban, lalu menyembelihnya pada waktunya dan membagikan dagingnya.  Kurban semacam ini tidak jauh berbeda dengan kurban di negeri lain yang lebih membutuhkan.

Kita katakan: Hukum asalnya berkurban dilakukan dengan tangan sendiri di negerinya sendiri, sebagian daging kurbannya dia makan, dan sebagiannya lainnya diberikan kepada kaum muslimin, dan tidak berkurban secara Online.  Akan tetapi, di bolehkan kurban dengan cara Online ketika ada kebutuhan yang mendesak, selagi lembaga tersebut benar-benar terpercaya, dan melaksanakan ibadah kurban sesuai aturan.
Wallahu A'lam.

Kurban Dengan Utang

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berkurban dengan utang:

1. Membolehkan berkurban dengan cara berutang, bahkan menganjurkannya; seperti Abu Hatim, beliau pernah berutang untuk menyembelih binatang kurban dan ketika beliau ditanya, qpakah ia berutang untuj binatang kurbannya; beliau menjawab:

إني سمعت لله يقول: ( لكم فيها خير )

" ya, karena aku mendengar Allah Ta'ala berfirman; 'Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak di dalamnya.'"(QS.  Al-Hajj: 36)
(Fatawa Lajnah Da'imah 11/394 no. 9563)

Imamal Ahmad termasuk yang menyarankan untuk menghidupkan sunnah, seperti Aqiqah.
Ketika beliau ditanya salah satu putranya tentang seorang ayah yang mempunyai anak dan belum di aqiqahi karena tidak mampu, maka beliau menjawab:

"(Dalil)yang paling kuat yang pernah aku dengar tentang Aqiqah adalah hadits Hasan dari Samurah dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam Beliau bersabda: 'setiap anak adam yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya.'
Maka aku berharap jika dia berutang (untuk Aqiqah), Allah akan menggantinya sebab dia telah menghidupkan salah satu Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti apa yang dibawa beliau."(Tuhfatul Maudud hlm. 50-51)

2. Melarang berkurban dengan berutang; seperti yang di fatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, beliau mengatakan:
"Jika seseorang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan utangnya daripada bekurban."(asy-Syarh Mumti' 7/455)

Pendapat yang kuat adalah yang kedua,yaitu dilarang berutang untuk kurban. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hal, diantaranya:

  • Utang harus diselesaikan lebih dahulu, karena kewajibannya lebih mendahului.
  • Membayar utang telah disepakati oleh para ulama hukumnya wajib, sedangkan berkurban dilerselisihkan antara wajib san sunnahnya.
  • Tidak ada satupun dalil al-Qur'an atau Sunnah yang memerintahkan berutang dalam menjalankan syariat, bahkan kewajiban syari'at yang berkaitan dengan harta "gugur kewajibannya" jika tidak mampu seperti sakat, haji, dan selainnya.
  • Berutang memang diperbolehkan dalam Islam, tetapi tidak berutang jelas lebih baik karena lebih jauh dari ancaman bagi orang yang mati meninggalkan utang; Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


نفس المؤمن معلقة بدينه حتى يقضى عنه

"Jiwa seorang mukmin bergantung pada utangnya hingga dia bayarkan. "(HR. At-Tirmidzi 4/249, dan dishohihkan oleh al-albani dalam al-Misykat 2/158)

Catatan:

Akan tetapi, bagi yang berutang dan ia menduga kuat bisa membayarnya karena ada yang di harapkan, seperti gaji tetap Dan semisalnya , maka hal itu di perbolehkan.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam penjelasan yang lain mengatakan:
"Adapun berutang untuk Aqiqah maka perlu di perinci.  Jika ada yang diharapkan untuk melunasinya seperti pegawai(yang punya gaji), tatkala bertepatan dengan waktu Aqiqah tidak punya uang, kemudian berutang kepada orang lain sampai mendapatkan gaji, maka tidak mengapa.
Adapun jika tidak ada yang diharapkan pemasukkannya untuk melunasinya maka tidak sepatutnya berutang. "
(Liqa' al-Bab al-Maftuh 8/36)

Daging Kurban Dibagikan Setelah Dimasak, Bolehkah?

Lajnah Da'imah( 11/394 no.9563) juga pernah ditanya tentang Aqiqah dan pembagiannya, maka jawabnya,
"Berkurban hukumnya sunnah kifayah, dan ulama ada yang mengatakan wahib 'ain. Adapun masalah pembagianny di masak atau tidak dimasak, maka ada keluasan di dalamnya, yang penting(pemiliknya memakan sebagiannya, di hadiahkan sebagiannya, dan disedekahkan sebagiannya. "

Kurban Untuk Orang Mati

Berkurban Untuk Orang Mati ada tiga(3) kondisi:

1. Kondisi pertama:

Berkurban untuk dirinya sendiri, dan mengikutsertakan orang yang mati mendapat pahalanya, seperti seseorang menyembelih kurban untuk dirinya dan untuk keluarganya dan di antara keluargan ada yang telah mati; ini telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berkurban beliau mengucapkan:

اللهم هذا عن محمد وآل محمد

"Ya Allah kurban ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad. "
Dan sungguh di antara keluarga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada yang sudah meninggal.

2. Kondisi Kedua:

Berkurban untuk sang mayat secara tersendiri.  Para ahli fiqih dari kalangan madzhab Hambali menegaskan ini adalah termasuk kebajikan;
Pahalanya akan sampai dan bermanfaat buat sang mayat, Dan ini dikiaskan kepada masalah sedekah untuk mayit(sebagaimana dalam hadits yang shahih).

Para ulama tidak berpendapat bolehnya berkurban untuk sang mayat kecuali jika sebelumnya telah diwasiatkan.
Akan tetapi, termasuk kesalahan yang dilakukan banyak orang ialah berkurban untuk mayit tetapi mereka tidak berkurban untuk diri sendiri dan keluarganya yang masih hidup; dan akhirnya mereka meninggalkan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka mengharamkan diri mereka untuk mendapatkan pahala kurban.

Ini termasuk kebodohan.  Mereka tidak mengetahui bahwa berkurban itu dianggap untuk dirinya dan keluarganya sering ini sudah mencakup(keluarga) yang masih hidup dan telah mati, dan Fadhilah Allah Ta'ala sangat besar.

3. Kondisi ketiga:

Berkurban untuk mayat sebab melaksanakan wasiatnya demikian, maka ini harus dilaksanakan sesuai dengan wasiatnya tanpa ditambah dan di kurangi.
(Di terjemahkan dari Risalatul Udhhiyah, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hlm. 51)

Wallahu A'lam


Oleh:
Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali AM. Hafizhahullah
(Sumber: Majalah al-Furqon edisi 4 tahun ketigabelas hlm.38-43)

Disalin oleh:
Radinal Maasy(Ibnu Abdillah)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Ibadah Kurban

0 komentar:

Posting Komentar

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]

Flag Counter